Sejarah Lampung

Sekala Brak (Baca: Sekala Bekhak) adalah sebuah kerajaan yang bercirikan Hindu dan dikenal dengan Kerajaan Sekala Brak Hindu yang setelah kedatangan Empat Umpu dari Pagaruyung yang menyebarkan agama Islam kemudian berubah menjadi Kepaksian Sekala Brak, terletak di kaki Gunung Pesagi (gunung tertinggi di Lampung) Yang menjadi cikal-bakal suku bangsa etnis Lampung saat ini.
Sekala Brak, Etimologi dan Sejarah Etnis Lampung
Asal usul bangsa Lampung adalah dari Sekala Brak yaitu sebuah Kerajaan yang letaknya di dataran Belalau, sebelah selatan Danau Ranau yang secara administratif kini berada di Kabupaten Lampung Barat. Dari dataran Sekala Brak inilah bangsa Lampung menyebar ke setiap penjuru dengan mengikuti aliran Way atau sungai-sungai yaitu way komering, way kanan, way semangka, way seputih, way sekampung dan way tulang bawang beserta anak sungainya, sehingga meliputi dataran Lampung dan Palembang serta Pantai Banten.
Sekala Brak memiliki makna yang dalam dan sangat penting bagi bangsa Lampung. Ia melambangkan peradaban, kebudayaan dan eksistensi Lampung itu sendiri. Bukti tentang kemasyuran kerajaan Sekala Brak didapat dari cerita turun temurun yang disebut warahan, warisan kebudayaan, adat istiadat, keahlian serta benda dan situs seperti tambo dan dalung seperti yang terdapat di Kenali, Batu Brak dan Sukau. Kata LAMPUNG sendiri berawal dari kata "Anjak Lambung" yang berarti berasal dari ketinggian (Diandra Natakembahang:2005) ini karena para puyang Bangsa Lampung pertama kali bermukim menempati dataran tinggi Sekala Brak di lereng Gunung Pesagi. Sebagaimana I Tshing yang pernah mengunjungi Sekala Brak setelah kunjungannya dari Sriwijaya dan beliau menyebut To-Langpohwang bagi penghuni negeri ini. Dalam bahasa hokkian, dialek yang dipertuturkan I Tshing, To-Langpohwang berarti Orang Atas dan seperti diketahui Pesagi dan dataran tinggi Sekala Brak adalah puncak tertinggi di Tanoh Lampung.
Ada beberapa teori tentang etimologi Sekala Brak (Diandra Natakembahang:2005), yaitu:
• Sakala Bhra yang berarti titisan dewa (terkait dengan Kerajaan Sekala Brak Hindu)
• Segara Brak yang berarti genangan air yang luas (diketahui sebagai Danau Ranau)
• Sekala Brak yang berarti tumbuhan sekala dalam jumlah yang banyak dan luas (tumbuhan ini banyak terdapat di Pesagi dan dataran tingginya)
Pendapat Sejarawan dan Catatan Tentang Sekala Brak
Tafsiran para ahli purbakala seperti Groenevelt, L.C.Westernenk dan Hellfich didalam menghubungkan bukti bukti memiliki pendapat yang berbeda beda namun secara garis besar didapat benang merah kesamaan dan acuan yang tidak diragukan didalam menganalisa bahwa Sekala Brak merupakan cikal bakal bangsa Lampung.
Dalam buku The History of Sumatra karya The Secretary to the President and the Council of Port Marlborough Bengkulu, William Marsdn, 1779, diketahui asal-usul Penduduk Asli Lampung. Didalam bukunya William Marsdn mengungkapkan "If you ask the Lampoon people of these part, where originally comme from they answere, from the hills, and point out an island place near the great lake whence, the oey, their forefather emigrated…". "Apabila tuan-tuan menanyakan kepada Masyarakat Lampung tentang dari mana mereka berasal, mereka akan menjawab dari dataran tinggi dan menunjuk ke arah Gunung yang tinggi dan sebuah Danau yang luas.."
Dari tulisan ini bisa disimpulkan bahwa yang dimaksud danau tersebut ialah Danau Ranau. Sedangkan Gunung yang berada dekat Danau adalah Gunung Pesagi, Sebagaimana juga ditulis Zawawi Kamil (Menggali Babad & Sedjarah Lampung) disebutkan dalam sajak dialek Komering/Minanga: "Adat lembaga sai ti pakaisa buasal jak Belasa Kapampang, Sajaman rik tanoh pagaruyung pemerintah bunda kandung, Cakak di Gunung Pesagi rogoh di Sekala Berak, Sangon kok turun temurun jak ninik puyang paija, Cambai urai ti usung dilom adat pusako" Terjemahannya berarti "Adat Lembaga yang digunakan ini berasal dari Belasa Kepampang (Nangka Bercabang), Sezaman dengan ranah pagaruyung pemerintah bundo kandung, Naik di Gunung Pesagi turun di Sekala Berak, Memang sudah turun temurun dari nenek moyang dahulu, Sirih pinang dibawa di dalam adat pusaka, Kalau tidak pandai tata tertib tanda tidak berbangsa".
Dalam catatan Kitab Tiongkok kuno yang disalin oleh Groenevelt kedalam bahasa Inggris bahwa antara tahun 454 dan 464 Masehi disebutkan kisah sebuah Kerajaan Kendali yang terletak diantara pulau Jawa dan Kamboja. Prof. Wang Gungwu dalam majalah ilmiah Journal of Malayan Branch of the Royal Asiatic Society dengan lebih spesifik menyebutkan bahwa pada tahun tahun 441, 455, 502, 518, 520, 560 dan 563 yang mulia Sapanalanlinda dari Negeri Kendali mengirimkan utusannya ke Negeri Cina. Menurut L.C. Westenenk nama Kendali ini dapat kita hubungkan dengan Kenali Ibukota Kecamatan Belalau sekarang. Nama Sapalananlinda itu menurut kupasan dari beberapa ahli sejarah, dikarenakan berhubung lidah bangsa Tiongkok tidak fasih melafaskan kata Sribaginda, ini berarti Sapanalanlinda bukanlah suatu nama.
Hal diatas membuktikan bahwa pada abad ke 3 telah berdiri Kerajaan Sekala Brak Kuno yang belum diketahui secara pasti kapan mulai berdirinya. Kerajaan Sekala Brak ini dihuni oleh Buay Tumi dengan Ibu Negeri Kenali dan Agama resminya adalah Hindu Bairawa. Hal ini dibuktikan dengan adanya Batu Kepampang di Kenali yang fungsinya adalah sebagai alat untuk mengeksekusi Pemuda dan Pemudi yang tampan dan cantik sebagai tumbal dan persembahan untuk para Dewa.
Kerajaan Sekala Brak menjalin kerjasama perdagangan antar pulau dengan Kerajaan Kerajaan lain di Nusantara dan bahkan dengan India dan Negeri Cina. Prof. Olivier W. Wolters dari Universitas Cornell, dalam bukunya Early Indonesian Commerce, Cornell University Press, Ithaca, New York, 1967, hal. 160, mengatakan bahwa ada dua kerajaan di Asia Tenggara yang mengembangkan perdagangan dengan Cina pada abad 5 dan 6 yaitu Kendali di Andalas dan Ho-lo-tan di Jawa. Dalam catatan Dinasti Liang (502-556) disebutkan tentang letak Kerajaan Sekala Brak yang ada di Selatan Andalas dan menghadap kearah Samudra India, Adat Istiadatnya sama dengan Bangsa Kamboja dan Siam, Negeri ini menghasilkan pakaian yang berbunga, kapas, pinang, kapur barus dan damar.
Dari Prasasti Hujung Langit (Hara Kuning) bertarikh 9 Margasira 919 Caka yang di temukan di Bunuk Tenuar Liwa terpahat nama raja di daerah Lampung yang pertama kali ditemukan pada prasasti. Prasasti ini terkait dengan Kerajaan Sekala Brak kuno yang masih dikuasai oleh Buay Tumi. Prof. Dr. Louis-Charles Damais dalam buku Epigrafi dan Sejarah Nusantara yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Jakarta, 1995, halaman 26-45, diketahui nama Raja yang mengeluarkan prasasti ini tercantum pada baris ke-7, menurut pembacaan Prof. Damais namanya adalah Baginda Sri Haridewa.
Lebih jauh lagi Sekala Brak Hindu adalah juga merupakan cikal bakal Sriwijaya, dimana saat persebaran awal dimulai dari dataran tinggi Pesagi dan Danau Ranau satu kelompok menuju keselatan menyusuri dataran Lampung dan kelompok yang lain menuju kearah utara menuju dataran palembang (Van Royen:1927). Bahkan seorang keturunan dari Sekala Brak Hindu adalah merupakan Pendiri dari Dinasti Sriwijaya adalah Dapunta Hyang Sri Jayanaga yang memulai Dinasti Sriwijaya awal dengan ibu negeri Minanga Komering (Arlan Ismail:2003).
Berdasarkan Warahan dan Sejarah yang disusun didalam Tambo, dataran Sekala Brak yang pada awalnya dihuni oleh suku bangsa Tumi ini mengagungkan sebuah pohon yang bernama Belasa Kepampang atau nangka bercabang karena pohonnya memiliki dua cabang besar, yang satunya nangka dan satunya lagi adalah sebukau yaitu sejenis kayu yang bergetah. Keistimewaan Belasa Kepampang ini bila terkena cabang kayu sebukau akan dapat menimbulkan penyakit koreng atau penyakit kulit lainnya, namun jika terkena getah cabang nangka penyakit tersebut dapat disembuhkan. Karena keanehan inilah maka Belasa Kepampang ini diagungkan oleh suku bangsa Tumi.
Berdirinya Kepaksian Sekala Brak
Diriwayatkan didalam Tambo empat orang Putera Raja Pagaruyung Maulana Umpu Ngegalang Paksi tiba di Sekala Brak untuk menyebarkan agama Islam. Fase ini merupakan bagian terpenting dari eksistensi masyarakat Lampung. Dengan kedatangan Keempat Umpu ini maka merupakan kemunduran dari Kerajaan Sekala Brak Kuno atau Buay Tumi yang merupakan penganut Hindu Bairawa/Animisme dan sekaligus merupakan tonggak berdirinya Kepaksian Sekala Brak atau Paksi Pak Sekala Brak yang berasaskan Islam. Keempat Putera Maulana Umpu Ngegalang Paksi masing masing adalah:
1. Umpu Bejalan Di Way
2. Umpu Belunguh.
3. Umpu Nyerupa.
4. Umpu Pernong.
Umpu berasal dari kata Ampu seperti yang tertulis pada batu tulis di Pagaruyung yang bertarikh 1358 A.D. Ampu Tuan adalah sebutan Bagi anak Raja Raja Pagaruyung Minangkabau. Setibanya di Sekala Brak keempat Umpu bertemu dengan seorang Muli yang ikut menyertai para Umpu dia adalah Si Bulan. Di Sekala Brak keempat Umpu tersebut mendirikan suatu perserikatan yang dinamai Paksi Pak yang berarti Empat Serangkai atau Empat Sepakat.
Setelah perserikatan ini cukup kuat maka suku bangsa Tumi dapat ditaklukkan dan sejak itu berkembanglah agama Islam di Sekala Brak. Pemimpin Buay Tumi dari Kerajaan Sekala Brak saat itu adalah seorang wanita yang bernama Ratu Sekerumong yang pada akhirnya dapat ditaklukkan oleh Perserikatan Paksi Pak. Sedangkan penduduk yang belum memeluk agama Islam melarikan diri ke Pesisir Krui dan terus menyeberang ke pulau Jawa dan sebagian lagi ke daerah Palembang. Raja terakhir dari Buay Tumi Sekala Brak adalah Kekuk Suik dengan wilayah kekuasaannya yang terakhir di Pesisir Selatan Krui -Tanjung Cina.
Dataran Sekala Brak akhirnya dikuasai oleh keempat Umpu yang disertai Si Bulan, Maka Sekala Brak kemudian diperintah oleh keempat Umpu dengan menggunakan nama Paksi Pak Sekala Brak. Inilah cikal bakal Kepaksian Sekala Brak yang merupakan puyang bangsa Lampung. Kepaksian Sekala Brak mereka bagi menjadi empat Marga atau Kebuayan yaitu:
1. Umpu Bejalan Di Way memerintah daerah Kembahang dan Balik Bukit dengan Ibu Negeri Puncak, daerah ini disebut dengan Paksi Buay Bejalan Di Way.
2. Umpu Belunguh memerintah daerah Belalau dengan Ibu Negerinya Kenali, daerah ini disebut dengan Paksi Buay Belunguh.
3. Umpu Nyerupa memerintah daerah Sukau dengan Ibu Negeri Tapak Siring, daerah ini disebut dengan Paksi Buay Nyerupa.
4. Umpu Pernong memerintah daerah Batu Brak dengan Ibu Negeri Hanibung, daerah ini disebut dengan Paksi Buay Pernong.
Sedangkan Si Bulan mendapatkan daerah Cenggiring namun kemudian Si Bulan berangkat dari Sekala Brak menuju kearah matahari hidup. Dan daerah pembagiannya digabungkan ke daerah Paksi Buay Pernong karena letaknya yang berdekatan.
Suku bangsa Tumi yang lari kedaerah Pesisir Krui menempati marga marga Punggawa Lima yaitu Marga Pidada, Marga Bandar, Marga Laai dan Marga Way Sindi namun kemudian dapat ditaklukkan oleh Lemia Ralang Pantang yang datang dari daerah Danau Ranau dengan bantuan lima orang punggawa dari Paksi Pak Sekala Brak. Dari kelima orang punggawa inilah nama daerah ini disebut dengan Punggawa Lima karena kelima punggawa ini hidup menetap pada daerah yang telah ditaklukkannya.
Agar syiar agama Islam tidak mendapatkan hambatan maka pohon Belasa Kepampang itu akhirnya ditebang untuk kemudian dibuat PEPADUN. Pepadun adalah singgasana yang hanya dapat digunakan atau diduduki pada saat penobatan SAIBATIN Raja Raja dari Paksi Pak Sekala Brak serta keturunan keturunannya. Dengan ditebangnya pohon Belasa Kepampang ini merupakan pertanda jatuhnya kekuasaan suku bangsa Tumi sekaligus hilangnya faham animisme di kerajaan Sekala Brak. Sekitar awal abad ke 9 Masehi para Saibatin di Sekala Brak menciptakan aksara dan angka tersendiri sebagai Aksara Lampung yang dikenal dengan Had Lampung.
Ada dua makna didalam mengartikan kata Pepadun, yaitu:
1. Dimaknakan sebagai PAPADUN yang maksudnya untuk memadukan pengesahan atau pengakuan untuk mentahbiskan bahwa yang duduk diatasnya adalah Raja.
2. Dimaknakan sebagai PAADUAN yang berarti tempat mengadukan suatu hal ihwal. Maka jelaslah bahwa mereka yang duduk diatasnya adalah tempat orang mengadukan suatu hal atau yang berhak memberikan keputusan.
Ini jelas bahwa fungsi Pepadun hanya diperuntukkan bagi Raja Raja yang memerintah di Sekala Brak. Atas mufakat dari keempat Paksi maka Pepadun tersebut dipercayakan kepada seseorang yang bernama Benyata untuk menyimpan, serta ditunjuk sebagai bendahara Pekon Luas, Paksi Buay Belunguh dan kepadanya diberikan gelar Raja secara turun temurun.
Manakala salah seorang dari keempat Umpu dan keturunannya memerlukan Pepadun tersebut untuk menobatkan salah satu keturunannya maka Pepadun itu dapat diambil atau dipinjam yang setelah digunakan harus dikembalikan. Adanya bendahara yang dipercayakan kepada Benyata semata mata untuk menghindari perebutan atau perselisihan diantara keturunan keturunan Paksi Pak Sekala Brak dikemudian hari.
Pada Tahun 1939 terjadi perselisihan diantara keturunan Benyata memperebutkan keturunan yang tertua atau yang berhak menyimpan Pepadun. Maka atas keputusan kerapatan adat dengan persetujuan Paksi Pak Sekala Brak dan Keresidenan, Pepadun tersebut disimpan dirumah keturunan yang lurus dari Umpu Belunguh hingga sekarang.
Perpindahan Warga Negeri Sekala Brak
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya semua suku bangsa Lampung, baik yang berada di daerah Lampung, Palembang, dan Pantai Banten berpengakuan berasal dari Sekala Brak. Perpindahan Warga Negeri Sekala Brak ini bukannya sekaligus melainkan bertahap dari waktu ke waktu yang dipengaruhi oleh beberapa peristiwa penting didalam sejarah seperti:
1. Ketika suku bangsa Tumi yang mendiami Sekala Brak terusir dan Skala Brak jatuh ketangan Paksi Pak Sekala Brak, hingga mereka menyebar kedaerah lain.
2. Perselisihan dan silang sengketa dikalangan keluarga yang mengakibatkan satu fihak meninggalkan Sekala Brak untuk mencari penghidupan ditempat lain.
3. Adanya bencana alam berupa gempa bumi yang memaksa sebagian Warga Negeri Sekala Brak untuk berpindah dan mencari penghidupan yang baru.
4. Adanya hubungan yang erat antara Kesultanan Banten dan Kebuayan Belunguh -Kenali, dimana dengan sengaja ditinggalkan disepanjang jalan beberapa orang suami istri untuk meluaskan daerah dan memudahkan perjalanan pulang pergi ke Banten. Sehingga berabad kemudian ditempat itu berdiri Pekon Pekon bahkan banyak yang sudah menjadi Marga. Hubungan inilah yang merupakan asal dari Cikoneng Pak Pekon di Pantai Banten.
5. Perpindahan juga terjadi disebabkan peraturan adat yang mengikat yang menetapkan semua hak hak adat jatuh atau diwarisi oleh Putera Tertua, sehingga anak anak yang muda dipastikan tidak sepenuhnya memiliki hak apalagi kedudukan tertentu didalam adat. Dengan cara memilih untuk pindah kedaerah yang baru maka dapat dipastikan mereka memiliki kedudukan dan tingkatan didalam adat yang mereka bentuk sendiri ditempat yang baru.
Perpindahan penduduk dari Sekala Brak ini sebagian mengikuti aliran Way Komring yang dikepalai oleh Pangeran Tongkok Podang, untuk seterusnya beranak pinak dan mendirikan Pekon atau Negeri. Kesatuan dari Pekon Pekon ini kemudian menjadi Marga Atau Buay yang diperintah oleh seorang Raja atau Saibatin di daerah Komring –Palembang. Sebagian kelompok lagi pergi kearah Muara Dua, kemudian menuju keselatan menyusuri aliran Way Umpu hingga sampai di Bumi Agung. Kelompok ini terus berkembang dan kemudian dikenal dengan Lampung Daya atau Lampung Komring yang menempati daerah Marta Pura dan Muara Dua di Komring Ulu, serta daerah Kayu Agung dan Tanjung Raja atau Komring Ilir.
Kelompok yang lain yang dipimpin oleh Puyang Rakian dan Puyang Nayan Sakti menuju ke Pesisir Krui dan menempati Pesisir Krui mulai dari Bandar Agung di selatan pesisir hingga Pugung Tampak dan Pulau Pisang di utara. Kelompok yang dipimpin oleh Puyang Naga Berisang dan Ratu Piekulun Siba menyusuri Way Kanan menuju ke Pakuan Ratu, Blambangan Umpu dan Sungkai Bunga Mayang di barat laut Lampung untuk meneruskan jurai dan keturunannya hingga meliputi sebagian utara dataran Lampung.
Adipati Raja Ngandum memimpin kelompok yang menuju ke Pesisir Selatan Lampung Mengikuti aliran Way Semangka hingga kehilirnnya di Kubang Brak. Dari Kubang Brak sebagian rombongan ini terus menuju kearah Kota Agung, Talang Padang, Way Lima hingga ke selatan Lampung di Teluk Betung, Kalianda dan Labuhan Maringgai. Daerah Pantai Banten yang merupakan daerah Cikoneng Pak Pekon adalah wilayah yang diberikan sebagai hadiah kepada Umpu Junjungan Sakti dari Kenali -Buay Belunguh setelah menumpas kerusuhan yang diakibatkan oleh Si Buyuh.
Sebagian lagi yang dikepalai oleh Menang Pemuka yang bergelar Ratu Di Puncak menyusuri sepanjang Way Rarem, Way Tulang Bawang dan Way Sekampung. Menang Pemuka atau Ratu Di Puncak memiliki tiga orang istri, istri yang pertama. berputera Nunyai, dari istri kedua memiliki dua orang anak yaitu seorang putera yang diberi nama Unyi dan seorang puteri yang bernama Nuban, sedangkan dari istri ketiga yang berasal dari Minangkabau memiliki seorang putera yang bernama Bettan Subing. Jurai Ratu Di Puncak inilah yang menurunkan orang Abung. Sedangkan Tulang Bawang adalah keturunan dari Indarwati yang Bergelar Putri Si Buay Bulan yang pada awalnya bertahta di Cenggiring Sekala Brak.
Ketetapan Adat Tentang Pepadun dan Hirarki Adat dalam Kepaksian
Seperti telah diterangkan terdahulu Pepadun dibuat dari Belasa Kepampang yang dibuat sedemikian rupa menjadi singgasana tempat bertahtanya Raja yang dinobatkan di Paksi Pak Sekala Brak. Ketetapan adat bahwa hanya keturunan yang lurus dan tersulung dari Paksi Pak Sekala Brak yang berhak untuk dapat duduk diatas Pepadun itu dalam gawi penobatan Raja sebagai Saibatin. Dengan demikian adat Pepadun seperti yang terdapat di daerah Lampung lainnya tidak seperti daerah asalnya di Sekala Brak.
Pertimbangan untuk menaikkan atau menurunkan pangkat adat seseorang dilakukan dalam permufakatan sidang adat dengan memperhatikan kesetiaan seseorang kepada garis dan aturan adat. Jika seseorang dinilai telah memenuhi syarat dan mematuhi garis, ketentuan dan aturan adat, untuk seterusnya keturunannya dapat dipertimbangkan untuk dinaikkan setingkat pangkat adatnya. Namun jika yang terjadi sebaliknya kemungkinan untuk keturunannya pangkat adat itu tetap atau bahkan diturunkan.
Pertimbangan yang kedua untuk menaikkan pangkat adat seseorang adalah dengan melihat jumlah bawahan dari seseorang yang akan dinaikkan pangkat adatnya. Seseorang yang yang menyandang pangkat adat atau Gelaran yang disebut ADOK harus memiliki bawahan yang berbanding dengan kedudukan pangkat adatnya.
Tingkatan tertinggi dalam adat adalah Saibatin Suntan. Untuk dapat mencapai Gelaran atau Adok dan kedudukan atau pangkat adat ditentukan oleh berapa banyak bawahan atau pengikut dari seseorang. Hirarki Adat dalam Kepaksian Sekala Brak dari yang tertinggi sampai yang terendah adalah:
1. Suntan
2. Raja
3. Batin
4. Radin
5. Minak
6. Kemas
7. Mas
Petutughan atau panggilan dalam Masyarakat Adat Lampung adalah berdasarkan hirarki seseorang didalam adat. Untuk panggilan kakak adalah Pun dan Ghatu untuk Suntan, Atin untuk Raja, Udo Dang dan Cik Wo untuk Batin, Udo dan Wo untuk Radin, Udo Ngah dan Cik Ngah untuk Minak, Abang dan Ngah untuk Mas serta kakak untuk Kemas. Sedangkan panggilan untuk orang tua adalah Akan dan Ina Dalom untuk Suntan, Aki dan Ina Batin untuk Raja, Ayah dan Ina Batin untuk Batin sedangkan untuk Radin, Mas dan Kimas menggunakan panggilan Mak dan Bak. Panggilan kepada setingkat panggilan orang tua seperti paman dan bibi adalah; Pak Dalom dan Ina Dalom untuk Suntan, Pak Batin dan Ina Batin untuk Raja, Tuan Tengah- dan Cik Tengah untuk Batin, Pak Balak dan Ina Balak untuk Radin, Pak Ngah dan Mak Ngah untuk Minak, Pak Lunik dan Ina Lunik untuk Mas serta Pak Cik dan Mak Cik untuk Kemas. Panggilan untuk kakek-nenek adalah Tamong Dalom dan Kajong Dalom untuk setingkat Suntan, Tamong Batin dan Kajong Batin untuk setingkat Raja dan Batin sedangkan untuk Radin, Minak, Mas dan Kemas menggunakan panggilan Tamong dan Kajong saja.
Gelaran atau Adok -DALOM, SUNTAN, RAJA, RATU, panggilan seperti PUN dan SAIBATIN serta nama LAMBAN GEDUNG hanya diperuntukkan bagi Saibatin dan keluarganya dan dilarang dipakai oleh orang lain. Dalam garis dan peraturan adat tidak terdapat kemungkinan untuk membeli Pangkat Adat, baik dengan Cakak Pepadun atau dengan cara cara lainnya terutama di dataran Skala Brak sebagai warisan resmi dari kerajaan Paksi Pak Sekala Brak.
Tentang kepangkatan seseorang dalam adat tidaklah dapat dinilai dari materi dan kekuatan yang dapat menaikkan kedudukan seseorang didalam lingkungan adat, melainkan ditentukan oleh asal, akhlak dan banyaknya pengikut seseorang dalam lingkungan adat. Bilamana ketiganya terpenuhi maka kedudukan seseorang didalam adat tidak perlu dibeli dengan harta benda atau diminta dan akan dianugerahkan dengan sendirinya.
Kesempatan untuk menaikkan kedudukan seseorang didalam adat dapat pula dilaksanakan pada acara Nayuh atau Pernikahan, Khitanan dan lain lain. Pengumuman untuk Kenaikan Pangkat ini, dilaksanakan dengan upacara yang lazim menurut adat diantara khalayak dengan penuh khidmat diiringi alunan bunyi Canang disertai bahasa Perwatin yang halus dan memiliki arti yang dalam.
Bahasa Perwatin adalah ragam bahasa yang teratur, tersusun yang berkaitan dengan indah dan senantiasa memiliki makna yang anggun, ragam bahasa ini lazim digunakan dilingkungan adat dan terhadap orang yang dituakan atau dihormati. Sedangkan Bahasa Merwatin adalah ragam bahasa pasaran yang biasa digunakan sehari hari yang dalam perkembangannya banyak dipengaruhi oleh bahasa bahasa lain.
Prosesi kenaikan seseorang didalam adat dihadiri oleh Saibatin Suntan atau Perwakilan yang ditunjuk beserta para Saibatin dan Pembesar lainnya. Dari rangkaian kata kata dalam bentuk syair dapat disimak ungkapan “Canang Sai Pungguk Ghayu Ya Mibogh Di Dunia Sapa Ngeliak Ya Nigham Sapa Nengis Ya Hila”
Terjemahannya bebasnya bermakna “Bunyi Gong Laksana Suara Pungguk Yang Syahdu Merayu, Gemanya Terdengar Keseluruh Dunia, Siapa Yang Melihat Ia Terkesima Dan Rindu, Siapa Yang Mendengarnya Ia Akan Terharu”. Ini bermakna bahwa pengumuman kenaikan kedudukan seseorang didalam adat telah diumumkan secara resmi.
Tentang adanya penggunaan Pepadun di daerah Lampung lainnya dimana kedudukan didalam adat itu dapat dibeli atau menaikkan kedudukan didalam adat dengan mengadakan Bimbang Besar. Cakak Pepadun di wilayah ini dapat dianalisa awal pelaksanaannya sebagai berikut –Warga Negeri yang memiliki hubungan genealogis dari salah satu Paksi Pak Sekala Brak dan beberapa kelompok pendatang dari daerah lain yang menempati wilayah yang baru ini tentu jauh dari pengaruh Saibatin serta Garis, Peraturan, dan Ketentuan adat yang berlaku dan mengikat.
Ditempat yang baru ini tentu dengan sendirinya harus ada Pemimpin dan Panutan yang ditaati oleh kelompok kelompok ditempat baru itu untuk membentuk suatu komunitas baru dan orang yang dipilih sebagai Pimpinan Komunitas ini dipastikan orang yang meiliki kekayaan dan kekuatan untuk dapat melindungi komunitasnya. Karenanya pada daerah Lampung tertentu dapat saja seseorang yang tidak memiliki trah bangsawan mengangkat dirinya menjadi pemimpin atau kepala adat dengan kompensasi tertentu.
Cara cara pengangkatan diri ini mengambil contoh penobatan Saibatin Raja dari daerah asalnya Paksi Pak Sekala Brak, pada masa berikutnya peristiwa Cakak Pepadun telah menjadi kebiasaan dan diteruskan sampai sekarang. Di wilayah baru ini rupanya tidak ada larangan tentang Pangkat Adat dengan melihat kenyataan yang ada bahwa Gelaran Gelaran atau Adok yang Sakral dan dipegang teguh di Paksi Pak Sekala Brak ternyata bahkan menjadi suatu gelaran umum di daerah ini.
Setelah soal naik Pepadun dengan tidak ada dasar ini menjadi suatu perlombaan yang hebat dikalangan khalayak, kesempatan ini digunakan oleh pasa penyimbang untuk mencari kekayaan dan setelah itu meningkat sedemikian rupa hingga mendatangkan kerugian yang besar bagi khalayak didalam mengadakan Bimbang Besar. Keadaan ini dimanfaatkan oleh Pemerintah Belanda dengan memfasilitasi tindakan tindakan kearah ini.
Pada zaman imperialis hal ini dimanfaatkan oleh kaum imperialis dengan memecah belah Bangsa Lampung sehingga perbedaan yang ada digunakan sebagai umpan untuk memperuncing pertentangan diantara Bangsa Lampung sendiri terutama didalam Adat. Belanda menggantikan kedudukan Raja dengan kedudukan sebagai Pesirah. Bentuk pemerintahan yang tadinya dijalankan dalam tatanan kemurnian dan keluhuran Adat perlahan diarahkan untuk mengikuti kepentingan Belanda.
Pembagian Wilayah Lampung Berdasarkan Way
Masyarakat Lampung hidup teratur dengan berpegang kepada norma dan adat perniti baik yang tertulis dalam huruf Lampung Kuno maupun secara lisan secara turun temurun. Kehidupan kemasyarakatan diatur dengan sistem kekerabatan yang bersifat Genealogis Patrilineal dimana pemerintahan dilakukan secara adat terutama yang mengatur sistem mata pencaharian hidup, sistem kekerabatan, kehidupan sosial dan budaya.
Secara Harfiah Buway (Bu-Way) berarti pemilik air atau pemilik daerah kekuasaan berdasarkan daerah aliran air atau sungai (Diandra Natakembahang:2005). Pembagian daerah dan wilayah berdasarkan sungai sungai atau way yang ada di Lampung sehingga menjadi beberapa Marga Atau Buway, pembagian ini dimaksudkan agar tidak terjadi perselisihan antar marga atau kebuayan. Pembagian wilayah ini diatur oleh Umpu Bejalan Di Way.
A. Wilayah Kekuasaan Kepaksian inti Paksi Pak Sekala Brak:
1. Way Selalau
2. Way Belunguh
3. Way Kenali
4. Way Kamal
5. Way Kandang Besi
6. Way Semuong
7. Way Sukau
8. Way Ranau
9. Way Liwa
10. Way Krui
11. Way Semaka
12. Way Tutung
13. Way Jelai
14. Way Benawang
15. Way Ngarip
16. Way Wonosobo
17. Way Ilahan
18. Way Kawor Gading
19. Way Haru
20. Way Tanjung Kejang
21. Way Tanjung Setia

B. Wilayah Kekuasaan Penyimbang Punggawa Melinting:
1. Way Meringgai
2. Way Kalianda
3. Way Harong
4. Way Palas
5. Way Jabung
6. Way Tulung Pasik
7. Way Jepara
8. Way Kambas
9. Way Ketapang
10. Way Limau
11. Way Badak
12. Way Pertiwi
13. Way Putih Doh
14. Way Kedondong
15. Way Bandar Pasir
16. Way Punduh
17. Way Pidada
18. Way Batu Regak
19. Way Berak
20. Way Kelumbayan
21. Way Peniangan

C. Wilayah Kekuasaan Penyimbang Punggawa Pubiyan Telu Suku:
1. Way Pubiyan
2. Way Tebu
3. Way Ratai
4. Way Seputih
5. Way Balau
6. Way Penindingan
7. Way Semah
8. Way Salak Berak
9. Way Kupang Teba
10. Way Bulok
11. Way Latayan
12. Way Waya
13. Way Samang
14. Way Layap
15. Way Pengubuan
16. Way Sungi Sengok
17. Way Peraduan
18. Way Batu Betangkup
19. Way Selom
20. Way Heni.
21. Way Naningan

D. Wilayah Kekuasaan Penyimbang Punggawa Sungkay Bunga Mayang:
1. Way Sungkay
2. Way Malinai
3. Way Tapus
4. Way Tapus
5. Way Ulok Buntok
6. Way Tapal Badak
7. Way Kujau
8. Way Surang
9. Way Kistang
10. Way Raman Gunung
11. Way Rantau Tijang
12. Way Tulung Selasih
13. Way Tulung Biuk
14. Way Tulung Maus
15. Way Tulung Cercah
16. Way Tulung Hinduk
17. Way Tulung Mengundang
18. Way Kubu Hitu
19. Way Pengacaran
20. Way Cercah
21. Way Pematang Hening

E. Wilayah Kekuasaan Penyimbang Punggawa Buay Lima Way Kanan:
1. Way Umpu
2. Way Besay
3. Way Jelabat
4. Way Sunsang
5. Way Putih Kanan
6. Way Pengubuan Kanan
7. Way Giham
8. Way Petay
9. Way Hitam
10. Way Dingin
11. Way Napalan
12. Way Gilas
13. Way Bujuk
14. Way Tuba
15. Way Baru
16. Way Tenong
17. Way Kistang
18. Way Panting Kelikik
19. Way Kabau
20. Way Kelom
21. Way Peti

F. Wilayah Kekuasaan Penyimbang Punggawa Abung Siwo Mego:
1. Way Abung
2. Way Melan
3. Way Sesau
4. Way Kunyaian
5. Way Sabu
6. Way Kulur
7. Way Kumpa
8. Way Bangik
9. Way Babak
10. Way Tulung Balak
11. Way Galing
12. Way Cepus
13. Way Muara Toping
14. Way Terusan Nunyai
15. Way Pematang Hening
16. Way Banyu Urip
17. Way Candi Sungi
18. Way Tulung Biuk
19. Way Tulung Pius
20. Way Umban
21. Way Guring

G. Wilayah Kekuasaan Penyimbang Punggawa Mego Pak Tulang Bawang:
1. Way Rarem
2. Way Gedong Aji
3. Way Penumangan
4. Way Panaragan
5. Way Kibang
6. Way Ujung Gunung
7. Way Nunyik
8. Way Lebuh Dalom
9. Way Gunung Tukang
10. Way Pagar Dewa
11. Way Rawa Panjang
12. Way Rawa Cokor
13. Way Tulung Belida
14. Way Karta
15. Way Gunung Katun
16. Way Malai
17. Way Krisi
H. Wilayah Kekuasaan Penyimbang Punggawa Komering:
1. Way Komering
2. Beserta anak sungainya
Aksara, Bahasa dan Dialek Lampung
Aksara Lampung yang disebut dengan Had Lampung adalah bentuk tulisan yang memiliki hubungan dengan aksara Pallawa dari India Selatan. Had Lampung diciptakan oleh Para Saibatin di Paksi Pak Sekala Brak pada awal Abad Ke 9. Macam tulisannya fonetik berjenis suku kata yang merupakan huruf hidup seperti dalam Huruf Arab dengan menggunakan tanda tanda fathah di baris atas dan tanda tanda kasrah di baris bawah tapi tidak menggunakan tanda dammah di baris depan melainkan menggunakan tanda di belakang, masing-masing tanda mempunyai nama tersendiri.
Artinya Had Lampung dipengaruhi dua unsur yaitu Aksara Pallawa dan Huruf Arab. Had Lampung memiliki bentuk kekerabatan dengan Aksara Rencong Aceh, Aksara Rejang Bengkulu dan Aksara Bugis. Had Lampung terdiri dari huruf induk, anak huruf, anak huruf ganda dan gugus konsonan, juga terdapat lambing, angka dan tanda baca. Had Lampung disebut dengan istilah KaGaNga ditulis dan dibaca dari kiri ke kanan dengan Huruf Induk berjumlah 20 buah.
Dr Van Royen mengklasifikasikan Bahasa Lampung dalam Dua Sub Dialek yaitu Dialek Belalau atau Dialek Api, yang dipertuturkan oleh sebagian besar Etnis Lampung yang masih memegang teguh Garis Adat dan Aturan Saibatin dan Dialek Nyow, yang dipertuturkan oleh orang Abung dan Tulang Bawang yang mengenal kenaikan Pangkat Adat dengan Kompensasi Tertentu yang berkembang setelah Seba yang dilakukan oleh Orang Abung ke Banten.
A. Dialek Belalau (Dialek Api), terbagi menjadi:
1. Bahasa Lampung Logat Belalau dengan tambahan spesifikasi Logat Kembahang dan Logat Sukau, Dipertuturkan oleh Etnis Lampung yang berdomisili di Kabupaten Lampung Barat yaitu Kecamatan Balik Bukit, Batu Brak, Belalau, Suoh, Sukau, Ranau, Sekincau, Gedung Surian, Way Tenong dan Sumber Jaya. Kabupaten Lampung Selatan di Kecamatan Kalianda, Penengahan, Palas, Pedada, Katibung, Way Lima, Padangcermin, Kedondong dan Gedongtataan. Kabupaten Tanggamus di Kecamatan Kotaagung, Semaka, Talangpadang, Pagelaran, Pardasuka, Hulu Semuong, Cukuhbalak dan Pulau Panggung. Kota Bandar Lampung di Teluk Betung Barat, Teluk Betung Selatan, Teluk Betung Utara, Panjang, Kemiling dan Raja Basa. Banten di di Cikoneng, Bojong, Salatuhur dan Tegal dalam Kecamatan Anyer, Serang.
2. Bahasa Lampung Logat Krui dipertuturkan oleh Etnis Lampung di Pesisir Barat Lampung Barat yaitu Kecamatan Pesisir Tengah, Pesisir Utara, Pesisir Selatan, Karya Penggawa, Lemong, Bengkunat dan Ngaras.
3. Bahasa Lampung Logat Melinting dipertuturkan Masyarakat Etnis Lampung yang bertempat tinggal di Kabupaten Lampung Timur di Kecamatan Labuhan Maringgai, Kecamatan Jabung dan Kecamatan Way Jepara.
4. Bahasa Lampung Logat Way Kanan dipertuturkan Masyarakat Etnis Lampung yang bertempat tinggal di Kabupaten Way Kanan yakni di Kecamatan Blambangan Umpu, Baradatu, Bahuga dan Pakuan Ratu.
5. Bahasa Lampung Logat Pubian dipertuturkan oleh Etnis Lampung yang berdomosili di Kabupaten Lampung Selatan yaitu di Natar, Gedung Tataan dan Tegineneng. Lampung Tengah di Kecamatan Pubian dan Kecamatan Padangratu. Kota Bandar Lampung Kecamatan Kedaton, Sukarame dan Tanjung Karang Barat.
6. Bahasa Lampung Logat Sungkay dipertuturkan Etnis Lampung yang Berdomisili di Kabupaten Lampung Utara meliputi Kecamatan Sungkay Selatan, Sungkai Utara dan Sungkay Jaya.
7. Bahasa Lampung Logat Jelema Daya atau Logat Komring dipertuturkan oleh Masyarakat Etnis Lampung yang berada di Muara Dua, Martapura, Komring, Tanjung Raja dan Kayuagung di Propinsi Sumatera Selatan.
B. Dialek Abung (Dialek Nyow), terbagi menjadi:
1. Bahasa Lampung Logat Abung Dipertuturkan Etnis Lampung yang yang berdomisili di Kabupaten Lampung Utara meliputi Kecamatan Kotabumi, Abung Barat, Abung Timur dan Abung Selatan. Lampung Tengah di Kecamatan Gunung Sugih, Punggur, Terbanggi Besar, Seputih Raman, Seputih Banyak, Seputih Mataram dan Rumbia. Lampung Timur di Kecamatan Sukadana, Metro Kibang, Batanghari, Sekampung dan Way Jepara. Kota Metro di Kecamatan Metro Raya dan Bantul. Kota Bandar Lampung di Gedongmeneng dan Labuhan Ratu.
2. Bahasa Lampung Logat Menggala Dipertuturkan Masyarakat Etnis Lampung yang bertempat tinggal di Kabupaten Tulang Bawang meliputi Kecamatan Menggala, Tulang Bawang Udik, Tulang Bawang Tengah, Gunung Terang dan Gedung Aji.
Falsafah dan Pedoman Hidup Ulun Lampung
Tandani Ulun Lampung Wat Piil-Pusanggiri Mulia Hina Sehitung Wat Liom Rega Diri Juluq-Adoq Ram Pegung, Nemui-Nyimah Muari Nengah-Nyampor Mak Ngungkung, Sakai-Sambayan Gawi.
Falsafah Hidup Ulun Lampung tersebut diilustrasikan dengan lima bunga penghias Sigor pada lambang Propinsi Lampung. Menurut kitab Kuntara Raja Niti, Ulun Lampung haruslah memiliki Lima Falsafah Hidup:
1. Piil-Pusanggiri (malu melakukan pekerjaan hina menurut agama serta memiliki harga diri),
2. Juluq-Adoq (mempunyai kepribadian sesuai dengan gelar adat yang disandangnya),
3. Nemui-Nyimah (saling mengunjungi untuk bersilaturahmi, selalu mempererat persaudaraan serta ramah menerima tamu),
4. Nengah-Nyampor (aktif dalam pergaulan bermasyarakat dan tidak individualistis),
5. Sakai-Sambayan (gotong-royong dan saling membantu dengan anggota masyarakat lainnya).
Tujuh Pedoman Hidup Ulun Lampung:
1. Berani menghadapi tantangan: mak nyerai ki mak karai, mak nyedor ki mak bador.
2. Teguh pendirian: ratong banjir mak kisir, ratong barak mak kirak.
3. Tekun dalam meraih cita-cita: asal mak lesa tilah ya pegai, asal mak jera tilah ya kelai.
4. Memahami anggota masyarakat yang kehendaknya tidak sama: pak huma pak sapu, pak jelma pak semapu, sepuluh pandai sebelas ngulih-ulih, sepuluh tawai sebelas milih-pilih.
5. Hasil yang kita peroleh tergantung usaha yang kita lakukan: wat andah wat padah, repa ulah riya ulih.
6. Mengutamakan persatuan dan kekompakan: dang langkang dang nyapang, mari pekon mak ranggang, dang pungah dang lucah, mari pekon mak belah.
7. Arif dan bijaksana dalam memecahkan masalah: wayni dang rubok, iwani dapok.
Sekilas Tentang Seni Dan Tradisi
Bangsa Lampung memiliki ragam kesenian yang kaya akan keragaman, keindahan dan keanggunan budaya. Tarian yang dibawakan oleh Muli Meghanai Lampung memiliki ciri khas gerak serta langgam tersendiri. Tarian klasik yang diselenggarakan pada saat upacara kerajaan adalah suatu bentuk tarian yang dikenal dengan nama Tarakot Kataki atau Lalayang Kasiwan yang masing masing diperagakan oleh dua belas Meghanai secara bersama sama sebagian memegang kipas dan sebagian lagi tidak memegang kipas.
Ragam tarian lain adalah Tari Tanggai yang ditampilkan oleh satu, dua, atau empat orang Muli yang masing masing memegang kipas. Didalam membawakan Tari Tanggai para Muli ini menggunakan aksesoris berupa kuku kuku panjang yang terbuat dari perak yang dipasang diujung jari para penari. Tari tersebut diiringi oleh irama Gamulan/Kulintang dengan ditingkahi para Meghanai yang membawakan bait tertentu yang dinamakan Ngadidang.
Dalam sepuluh hari didalam bulan Syawal diadakan Sekuraan yaitu Festival Topeng yang diselenggarakan sebagai ungkapan suka cita setelah sebulan penuh berpuasa dan mendapatkan Hari Kemenangan. Sekuraan ini diadakan dibeberapa Pekon di Sekala Brak dengan berbagai suguhan Kesenian seperti Silek, Muwayak, Hadra, dan Nyambai oleh para Sekura.
Ada dua tipe Sekura yaitu Sekura Helau yang melambangkan kebajikan dan kebijaksanaan dan Sekura Kamak yang melambangkan Ketamakan dan Keangkaramurkaan. Sekura Helau mengenakan kostum yang indah dan bagus seperti bawahan yang mengenakan kain yang bermotifkan Tapis dan atasan yang mengenakan Kain Panjang, sedangkan Sekura Kamak mengenakan Topeng yang menyeramkan dan kostum yang kebanyakan berwarna hitam hitam.
Setiap sehari sebelum Idul Fitri dan Idul Adha ada tradisi Ngelemang pada Paksi Paksi di Sekala Brak terutama di Paksi Buay Bejalan Di Way, ada beberapa jenis Lemang seperti Lemang Siwok yang terbuat dari ketan, Lemang Bungking yang terbuat dari ketan–pisang, dan Lemang Ceghughut yang terbuat dari ketan–gula merah. Tradisi ini sebenarnya adalah tradisi lanjutan seperti yang berlaku di daerah Minangkabau.
Bangsa Lampung dikenal memiliki kain tenun yang indah dan anggun yang dikenal dengan Kain Tapis. Tapis adalah kain yang agung dan sakral yang pada mulanya hanya dikenakan oleh Para Saibatin dan keluarganya saja terutama dikenakan dalam Gawi dan Upacara adat. Namun dalam perkembangannya Kain Tapis telah diproduksi secara massal sehingga setiap khalayak dapat berkesempatan untuk memiliki dan mengenakannya.
Saat ini Kain Tapis telah dikomersialkan dan memiliki nilai ekonomi yang tinggi dan telah melanglangbuana hingga ke mancanegara. Kini Kain Tapis telah mengalami perkembangannya hingga semakin variatif dengan berbagai macam bentuk dan telah merambah dunia fasion seperti pakaian dan aksesoris aksesoris yang bermotifkan Tapis.
Sumber
• Diandra Natakembahang SH
Lamban Bandung, Negeri Ratu Kembahang
Paksi Buay Bejalan Diway, Paksi Pak Sekala Brak
Lampung
• Drs Irfan Anshory adok Batin Kesuma Ningrat
Penyimbang Sukabanjar
Marga Gunung Alip, Keratuan Semaka
Lampung

Sejarah Budaya dan Etnik

Etnis Lampung yang biasa disebut Ulun Lampung [Orang Lampung] secara tradisional geografis adalah suku yang menempati seluruh provinsi Lampung dan sebagian provinsi Sumatera Selatan bagian selatan dan tengah yang menempati daerah Martapura, Muaradua di Komering Ulu, Kayu Agung, Tanjung Raja di Komering Ilir, Merpas diselatan Bengkulu serta Cikoneng di pantai barat Banten.
Asal usul
Asal-usul Ulun Lampung erat kaitannya dengan istilah Lampung sendiri. Kata Lampung sendiri berasal dari kata "anjak lambung" yang berarti berasal dari ketinggian ini karena para puyang Bangsa Lampung pertama kali bermukim menempati dataran tinggi Sekala Brak di lereng Gunung Pesagi. Sebagaimana I Tsing yang pernah mengunjungi Sekala Brak setelah kunjungannya dari Sriwijaya dan dia menyebut To-Langpohwang bagi penghuni Negeri ini. Dalam bahasa hokkian, dialek yang dipertuturkan oleh I Tsing To-Langpohwang berarti orang atas dan seperti diketahui Pesagi dan dataran tinggi Sekala brak adalah puncak tertinggi ditanah Lampung.
Prof Hilman Hadikusuma didalam bukunya (Adat Istiadat Lampung:1983) menyatakan bahwa generasi awal Ulun Lampung berasal dari Sekala Brak, di kaki Gunung Pesagi, Lampung Barat. Penduduknya dihuni oleh Buay Tumi yang dipimpin oleh seorang wanita bernama Ratu Sekerummong. Negeri ini menganut kepercayaan dinamisme, yang dipengaruhi ajaran Hindu Bairawa.
Buay Tumi kemudian kemudian dapat dipengaruhi empat orang pembawa Islam yang berasal dari Pagaruyung, Sumatera Barat yang datang ke sana. Mereka adalah Umpu Bejalan diWay, Umpu Nyerupa, Umpu Pernong dan Umpu Belunguh. Keempat Umpu inilah yang merupakan cikal bakal Paksi Pak Sekala Brak sebagaimana diungkap naskah kuno Kuntara Raja Niti. Namun dalam versi buku Kuntara Raja Niti, nama puyang itu adalah Inder Gajah, Pak Lang, Sikin, Belunguh, dan Indarwati. Berdasarkan Kuntara Raja Niti, Prof Hilman Hadikusuma menyusun hipotesis keturunan Ulun Lampung sebagai berikut:
• Inder Gajah
Gelar: Umpu Lapah di Way
Kedudukan: Puncak Dalom, Balik Bukit
Keturunan: Orang Abung
• Pak Lang
Gelar: Umpu Pernong
Kedudukan: Hanibung, Batu Brak
Keturunan: Orang Pubian
• Sikin
Gelar: Umpu Nyerupa
Kedudukan: Tampak Siring, Sukau
Keturunan: Jelma Daya
• Belunguh
Gelar: Umpu Belunguh
Kedudukan: Kenali, Belalau
Keturunan: Peminggir
• Indarwati
Gelar: Puteri Bulan
Kedudukan: Cenggiring, Batu Brak
Keturunan: Tulang Bawang
Adat-istiadat
Pada dasarnya jurai Ulun Lampung adalah berasal dari Sekala Brak, namun dalam perkembangannya, secara umum masyarakat adat Lampung terbagi dua yaitu masyarakat adat Lampung Saibatin dan masyarakat adat Lampung Pepadun. Masyarakat Adat Saibatin kental dengan nilai aristokrasinya, sedangkan Masyarakat adat Pepadun yang baru berkembang belakangan kemudian setelah seba yang dilakukan oleh orang abung ke banten lebih berkembang dengan nilai nilai demokrasinya yang berbeda dengan nilai nilai Aristokrasi yang masih dipegang teguh oleh Masyarakat Adat Saibatin.
Masyarakat adat Lampung Saibatin
Masyarakat Adat Lampung Saibatin mendiami wilayah adat: Labuhan Maringgai, Pugung, Jabung, Way Jepara, Kalianda, Raja Basa, Teluk Betung, Padang Cermin, Cukuh Balak, Way Lima, Talang Padang, Kota Agung, Semaka, Suoh, Sekincau, Batu Brak, Belalau, Liwa, Pesisir Krui, Ranau, Martapura, Muara Dua, Kayu Agung, empat kota ini ada di Propinsi Sumatera Selatan, Cikoneng di Pantai Banten dan bahkan Merpas di Selatan Bengkulu. Masyarakat Adat Saibatin seringkali juga dinamakan Lampung Pesisir karena sebagian besar berdomisili di sepanjang pantai timur, selatan dan barat lampung, masing masing terdiri dari:
• Paksi Pak Sekala Brak (Lampung Barat)
• Keratuan Melinting (Lampung Timur)
• Keratuan Darah Putih (Lampung Selatan)
• Keratuan Semaka (Tanggamus)
• Keratuan Komering (Provinsi Sumatera Selatan)
• Cikoneng Pak Pekon (Provinsi Banten)
Masyarakat adat Lampung Pepadun
Masyarakat beradat Pepadun/Pedalaman terdiri dari:
• Abung Siwo Mego (Unyai, Unyi, Subing, Uban, Anak Tuha, Kunang, Beliyuk, Selagai, Nyerupa). Masyarakat Abung mendiami tujuh wilayah adat: Kotabumi, Seputih Timur, Sukadana, Labuhan Maringgai, Jabung, Gunung Sugih, dan Terbanggi.
• Mego Pak Tulangbawang (Puyang Umpu, Puyang Bulan, Puyang Aji, Puyang Tegamoan). Masyarakat Tulangbawang mendiami empat wilayah adat: Menggala, Mesuji, Panaragan, dan Wiralaga.
• Pubian Telu Suku (Minak Patih Tuha atau Suku Manyarakat, Minak Demang Lanca atau Suku Tambapupus, Minak Handak Hulu atau Suku Bukujadi). Masyarakat Pubian mendiami delapan wilayah adat: Tanjungkarang, Balau, Bukujadi, Tegineneng, Seputih Barat, Padang Ratu, Gedungtataan, dan Pugung.
• Sungkay Bunga Mayang, mendiami wilayah adat: Ketapang, Sungkay, Negara Ratu, Bunga Mayang, Sungkay Jaya.
• Way Kanan Buay Lima (Pemuka, Bahuga, Semenguk, Baradatu, Barasakti, yaitu lima keturunan Raja Tijang Jungur). Masyarakat WayKanan mendiami wilayah adat: Negeri Besar, Pakuan Ratu, Blambangan Umpu, Baradatu, Bahuga, dan Kasui.
Falsafah Hidup Ulun Lampung
Falsafah Hidup Ulun Lampung termaktub dalam kitab Kuntara Raja Niti, yaitu:
• Piil-Pusanggiri (malu melakukan pekerjaan hina menurut agama serta memiliki harga diri)
• Juluk-Adok (mempunyai kepribadian sesuai dengan gelar adat yang disandangnya)
• Nemui-Nyimah (saling mengunjungi untuk bersilaturahmi serta ramah menerima tamu)
• Nengah-Nyampur (aktif dalam pergaulan bermasyarakat dan tidak individualistis)
• Sakai-Sambaian (gotong-royong dan saling membantu dengan anggota masyarakat lainnya)
Sifat-sifat di atas dilambangkan dengan ‘lima kembang penghias sigor’ pada lambang Provinsi Lampung.
Sifat-sifat orang Lampung tersebut juga diungkapkan dalam adi-adi (pantun):
Tandani Ulun Lampung, wat Piil-Pusanggiri
Mulia heno sehitung, wat liom khega dikhi
Juluk-Adok kham pegung, Nemui-Nyimah muakhi
Nengah-Nyampur mak ngungkung, Sakai-Sambaian gawi.
Bahasa Lampung
Bahasa Lampung, adalah sebuah bahasa yang dipertuturkan oleh Ulun Lampung di Propinsi Lampung, selatan palembang dan pantai barat Banten.
Bahasa ini termasuk cabang Sundik, dari rumpun bahasa Melayu-Polinesia barat dan dengan ini masih dekat berkerabat dengan bahasa Sunda, bahasa Batak, bahasa Jawa, bahasa Bali, bahasa Melayu dan sebagainya.
Berdasarkan peta bahasa, Bahasa Lampung memiliki dua subdilek. Pertama, dialek A (api) yang dipakai oleh ulun Sekala Brak, Melinting Maringgai, Darah Putih Rajabasa, Balau Telukbetung, Semaka Kota Agung, Pesisir Krui, Ranau, Komering dan Daya (yang beradat Lampung Saibatin), serta Way Kanan, Sungkai, dan Pubian (yang beradat Lampung Pepadun). Kedua, subdialek O (nyo) yang dipakai oleh ulun Abung dan Tulangbawang (yang beradat Lampung Pepadun).
Dr Van Royen mengklasifikasikan Bahasa Lampung dalam Dua Sub Dialek, yaitu Dialek Belalau atau Dialek Api dan Dialek Abung atau Nyow.
Aksara Lampung
Aksara lampung yang disebut dengan Had Lampung adalah bentuk tulisan yang memiliki hubungan dengan aksara Pallawa dari India Selatan. Macam tulisannya fonetik berjenis suku kata yang merupakan huruf hidup seperti dalam Huruf Arab dengan menggunakan tanda tanda fathah di baris atas dan tanda tanda kasrah di baris bawah tapi tidak menggunakan tanda dammah di baris depan melainkan menggunakan tanda di belakang, masing-masing tanda mempunyai nama tersendiri.
Artinya Had Lampung dipengaruhi dua unsur yaitu Aksara Pallawa dan Huruf Arab. Had Lampung memiliki bentuk kekerabatan dengan aksara Rencong, Aksara Rejang Bengkulu dan Aksara Bugis. Had Lampung terdiri dari huruf induk, anak huruf, anak huruf ganda dan gugus konsonan, juga terdapat lambing, angka dan tanda baca. Had Lampung disebut dengan istilah KaGaNga ditulis dan dibaca dari kiri ke kanan dengan Huruf Induk berjumlah 20 buah.
Aksara lampung telah mengalami perkembangan atau perubahan. Sebelumnya Had Lampung kuno jauh lebih kompleks. Sehingga dilakukan penyempurnaan sampai yang dikenal sekarang. Huruf atau Had Lampung yang diajarkan di sekolah sekarang adalah hasil dari penyempurnaan tersebut.
Marga di Lampung
Lampung mengenal marga-marga yang mulanya bersifat geneologis-territorial. Tapi, tahun 1928, pemerintah Belanda menetapkan perubahan marga-marga geneologi-teritorial menjadi marga-marga teritorial-genealogis, dengan penentuan batas-batas daerah masing-masing.
Setiap marga dipimpin oleh seorang kepala marga atas dasar pemilihan oleh dan dari punyimbang-punyimbang yang bersangkutan. Demikian pula, kepala-kepala kampung ditetapkan berdasarkan hasil pemilihan oleh dan dari para punyimbang.
Di seluruh keresidenan Lampung, terdapat marga-marga teritorial sebagai berikut:
No. Nama Marga Kecamatan sekarang Beradat Berbahasa(Dialek)
1. Melinting Labuhan Maringgai Peminggir Melinting A (api)
2. Jabung Jabung idem idem
3. Sekampung idem idem idem
4. Ratu Dataran Ratu Peminggir Darah Putih idem
5. Dataran idem idem idem
6. Pesisir Kalianda idem idem
7. Rajabasa idem idem idem
8. Ketibung Way Ketibung idem idem
9. Telukbetung Telukbetung Peminggir Teluk idem
10. Sabu Mananga Padangcermin idem idem
11. Ratai idem idem idem
12. Punduh idem idem idem
13. Pedada idem idem idem
14. Badak Cukuhbalak Peminggir Pemanggilan (Semaka) idem
15. Putih Doh idem idem idem
16. Limau Doh idem idem idem
17. Kelumbayan idem idem idem
18. Pertiwi idem idem idem
19. Limau Talangpadang idem idem
20. Gunungalip idem idem idem
21. Putih Kedondong idem idem
22. Beluguh Kotaagung idem idem
23. Benawang idem idem idem
24. Pematang Sawah idem idem idem
25. Ngarip Semuong Wonosobo idem idem
26. Buay Nunyai (Abung) Kotabumi Pepadun O (nyou)
27. Buay Unyi Gunungsugih idem idem
28. Buay Subing Terbanggi idem idem
29. Buay Nuban Sukadana idem idem
30. Buay Beliyuk Terbanggi idem idem
31. BuayNyerupa Gunungsugih idem idem
32. Selagai Abung Barat idem idem
33. Anak Tuha Padangratu idem idem
34. Sukadana Sukadana idem idem
35. Subing Labuan Labuan Maringgai idem idem
36. Unyi Way Seputih Seputihbanyak idem idem
37. Gedongwani Sukadana idem idem
38. Buay Bolan Udik Karta (Tulangbawang Udik) Pepadun (Megou-pak) idem
39. Buay Bolan Menggala idem idem
40. Buay Tegamoan Tulangbawang Tengah idem idem
41. Buay Aji Tulangbawang Tengah idem idem
42. Buay Umpu Tulangbawang Tengah idem idem
43. Buay Pemuka Bangsa Raja Negeri Besar Pepadun A (api)
44. Buay Pemuka Pangeran Ilir Pakuonratu idem idem
45. Buay Pemuka Pangeran Udik Pakuonratu idem idem
46. Buay Pemuka Pangeran Tuha Belambangan Umpu idem idem
47. Buay Bahuga Bahuga (Bumiagung) idem idem
48. Buay Semenguk Belambangan Umpu idem idem
49. Buay Baradatu Baradatu idem idem
50. Bungamayang Negararatu Pepadun (Sungkai) idem
51. Balau Kedaton idem idem
52. Merak-Batin Natar idem idem
53. Pugung Pagelaran idem idem
54. Pubian (Nuat) Padangratu idem idem
55. Tegineneng Tegineneng idem idem
56. Way Semah Gedongtataan idem idem
57. Rebang Pugung Talangpadang Semende Sumatera Selatan
58. Rebang Kasui Kasui idem idem
59. Rebang Seputih Tanjungraya idem idem
60. Way Tube Bahuga Ogan idem
61. Mesuji Wiralaga Pegagan idem
62. Buay Belunguh Belalau Peminggir (Belalau) A (api)
63. Buay Kenyangan Batubrak idem idem
64. Kembahang Batubrak idem idem
65. Sukau Sukau idem idem
66. Liwa
Balik Bukit Liwa idem idem
67. Suoh Suoh idem idem
68. Way Sindi Karya Penggawa idem idem
69. La'ai Karya Penggawa idem idem
70. Bandar Karya Penggawa idem idem
71. Pedada Pesisir Tengah idem idem
72. Ulu Krui Pesisir Tengah idem idem
73. Pasar Krui Pesisir Tengah idem idem
74. Way Napal Pesisir Selatan idem idem
75. Tenumbang Pesisir Selatan idem idem
76. Ngambur Bengkunat idem idem
77. Ngaras Bengkunat idem idem
78. Bengkunat Bengkunat idem idem
79. Belimbing Bengkunat idem idem
80. Pugung Penengahan Pesisir Utara idem idem
81. Pugung Melaya Lemong idem idem
82. Pugung Tampak- Pesisir Utara idem idem
83. Pulau Pisang Pesisir Utara idem idem
84. Way Tenong Way Tenong Semendo Sumatera Selatan

Susunan marga-marga territorial yang berdasarkan keturunan kerabat tersebut, pada masa kekuasaan Jepang sampai masa kemerdekaan pada tahun 1952 dihapus dan dijadikan bentuk pemerintahan negeri. Sejak tahun 1970, nampak susunan negeri sebagai persiapan persiapan pemerintahan daerah tingkat III tidak lagi diaktifkan, sehingga sekarang kecamatan langsung mengurus pekon-pekon/kampung/desa sebagai bawahannya.
Sastra
Sastra Lampung adalah sastra yang menggunakan bahasa Lampung sebagai media kreasi, baik sastra lisan maupun sastra tulis. Sastra Lampung memiliki kedekatan dengan tradisi Melayu yang kuat dengan pepatah-petitih, mantera, pantun, syair, dan cerita rakyat.
Sastra lisan
Sastra lisan Lampung menjadi milik kolektif suku Lampung. Ciri utamanya kelisanan, anonim, dan lekat dengan kebiasaan, tradisi, dan adat istiadat dalam kebudayaan masyarakat Lampung. Sastra itu banyak tersebar dalam masyarakat dan merupakan bagian sangat penting dari khazanah budaya etnis Lampung.
Jenis sastra lisan Lampung
A. Effendi Sanusi (1996) membagi lima jenis sastra tradisi lisan Lampung: peribahasa, teka-teki, mantera, puisi, dan cerita rakyat.
Sesikun/sekiman (peribahasa)
Sesikun/sekiman adalah bahasa yang memiliki arti kiasan atau semua berbahasa kias. Fungsinya sebagai alat pemberi nasihat, motivasi, sindiran, celaaan, sanjungan, perbandingan atau pemanis dalam bahasa.
Seganing/teteduhan (teka-teki)
Seganing/teteduhan adalah soal yang dikemukakan secara samar-samar, biasanya untuk permainan atau untuk pengasah pikiran.
Memmang (mantra)
Memmang adalah perkataan atau ucapan yang dapat mendatangkan daya gaib: dapat menyembuhkan, dapat mendatangkan celaka, dan sebagainya.
Warahan (cerita rakyat)
Warahan adalah suatu cerita yang pada dasarnya disampaikan secara lisan; bisa berbentuk epos, sage, fabel, legenda, mite maupun semata-mata fiksi.
Puisi
Puisi adalah bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan seseorang secara imajinatif dan disusun dengan semua kekuatan bahasa dengan pengonsentrasikan struktur fisik dan struktur batin.
Bentuk-bentuk puisi lisan Lampung
Berdasarkan fungsinya, ada lima macam puisi dalam khasanah sastra tradisi lisan Lampung: paradinei/paghadini, pepaccur/pepaccogh/wawancan, pattun/segata/adi-adi, bebandung, dan ringget/pisaan/dadi/highing-highing/wayak/ngehahaddo/hahiwang.
Paradinei/paghadini
Paradinei/paghadini adalah puisi tradisi Lampung yang biasa digunakan dalam upacara penyambutan tamu pada saat berlangsungnya pesta pernikahan secara adat. Paradinei/paghadini diucapkan jurubicara masing-masing pihak, baik pihak yang datang maupun yang didatangi. Secara umum, isi paradinei/paghadini berupa tanya jawab tentang maksud atau tujuan kedatangan.
Contoh:
Jak banding sikam jinna
Lupa mak singgah jondong
Kubimbing niku jinna
Mukhawan niku khatong
Mawat kutattak lada
kammak jukuk ni lamon
Mawat kubuka cawa
kammak cawa sai temmon
Si gisting nangun mikhing
jalan berliku liku
Najin dunia giccing
bacak sapai di niku
Pepaccur/pepaccogh/wawancan
Pepaccur/pepaccogh/wawancan adalah puisi tradisi Lampung yang berisi nasihat atau pesan-pesan setelah pemberian adok (gelar adat) kepada bujang-gadis sebagai penghormatan/tanda telah berumah tangga dalam pesta pernikahan. Pemberian adok (gelar adat) dilakukan dalam upacara adat yang dikenal dengan istilah butetah atau istilah lainnnya, ngamai dan nginai adek, ngamai ghik ngini adok, dan kabaghan adok atau nguwaghko adok.
Pattun/Segata/Adi-Adi
Pantun/segata/adi-adi adalah salah satu jenis puisi tradisi Lampung yang lazim di kalangan etnik lampung digunakan dalam acara-acara yang sifatnya bersukaria, misalnya pengisi acara muda mudi nyambai, miyah damagh, kedayek.
Contoh pattun/segata:
Bukundang Kalah Sahing
Numpang pai nanom peghing
Titanom banjagh capa
Numpang pai ngulih-ulih
Jama kutti sai dija
Adek kesaka dija
Kuliak nambi dibbi
Adek gelagh ni sapa
Nyin mubangik ngughau ni
Budaghak dipa dinyak
Pullan tuha mak lagi
Bukundang dipa dinyak
Anak tuha mak lagi
Payu uy mulang pai uy
Dang saka ga di huma
Manuk disayang kenuy
Layau kimak tigaga
Nyilok silok di lawok
Lentera di balimbing
Najin ghalang kupenok
Kidang ghisok kubimbing
Kusassat ghelom selom
Asal putungga batu
Kusassat ghelom pedom
Asal putungga niku
Kughatopkon mak ghattop
Kayu dunggak pumatang
Pedom nyak sanga silop
Min pitu minjak miwang
Indani ghaddak minyak
Titanom di cenggighing
Musakik kik injuk nyak
Bukundang kalah sahing
Musaka ya gila wat
Ki temon ni peghhati
Ya gila sangon mawat
Niku masangkon budi
Ali-ali di jaghi kiri
Gelang di culuk kanan
Mahap sunyin di kutti
Ki salah dang sayahan
Terjemahannya:
Pacaran Kalah Saingan
Numpang menanam bambu
Ditanam dekat capa
Numpang bertanya
Kepada kalian di sini
Adik kapan kemari
Kulihat kemarin sore
Nama adik siapa
Agar enak memanggilnya
Berladang dimana aku
Hutan tua tiada lagi
Pacaran dengan siapa aku
Anak tua tiada lagi
Ya uy pulang dulu uy
Jangan lama-lama di ladang
Ayam disayang elang
Kacau kalau tak dicegah
Melihat-lihat di laut
Lentera di balimbing
Walau jarang kulihat
Tapi sering kuucap
Kucari ke dasar gelap
Asal bersua batu
Kucari hingga ke tidur
Asal bersua denganmu
Kurebahkan tak rebah
Kayu di ujung pematang
Sejenak aku tertidur
Tujuh kali terbangun menangis
Layaknya ghaddak minyak*
Ditanam di lereng bukit
Betapa derita kurasakan
Pacaran kalah saingan
Sudah lama sebenanya ada
Kalau memang lebih perhatian
Ya memang tidak
Kau menanam budi
Cincin di jari kiri
Gelang di kaki kanan
Maaf semuanya kepada kalian
Kalau salah jangan mengejek
• nama pohon untuk pelindung tanaman kopi
Bebandung
Bubandung adalah puisi tradisi Lampung yang berisi pertuah-petuah atau ajaran yang berkenaan dengan agama Islam.
Ringget/Pisaan
Ringget/pisaan/dadi/highing-highing/wayak/ngehahaddo/hahiwang adalah puisi tradisi Lampung yang lazim digunakan sebagai pengantar acara adat, pelengkap acara pelepasan pengantin wanita ke tempat pengantin pria, pelengkap acara tarian adat (cangget), pelengkap acara muda-mudi (nyambai, miyah damagh, atau kedayek), senandung saat meninabobokan anak, dan pengisi waktu bersantai.
Sastra modern Lampung
Sebagaimana Melayu di Sumatra pada umumnya, Suku Lampung sangat kental dengan tradisi kelisanan. Pantun, syair, mantra, dan berbagai jenis sastra berkembang tidak dalam bentuk keberaksaraan, sehingga wajar jika memiliki pola-pola sastra lama yang serupa sebagai ciri dari kelisanan itu.
Tidak seperti sastra Jawa, Sunda, dan Bali yang sudah lama memiliki sastra modern, sastra modern berbahasa Lampung baru bisa ditandai dengan kehadiran kumpulan sajak dwibahasa Lampung Indonesia karya Udo Z. Karzi, Momentum (2002). 25 puisi yang terdapat dalam Momentum tidak lagi patuh pada konvensi lama dalam tradisi perpuisian berbahasa Lampung, baik struktur maupun dalam tema. Dengan kata lain, Udo melakukan pembaruan dalam perpuisian Lampung sehingga ada yang menyebutnya "Bapak Puisi Modern Lampung".
Berikut ini adalah daftar sastrawan yang berasal dari provinsi Lampung Indonesia.
• Agus S. Santo
• Ahmad Rich
• Ahmad Yulden Erwin
• Alex R. Nainggolan
• A.M. Zulqornain
• Andriansyah
• Anjar Anastasia
• Anton Kurniawan
• Ari Pahala Hutabarat
• Aris Hadianto
• Bahirul Al-Varizi
• Bambang Karyawan HB
• Binhad Nurrohmat
• Budi Elpiji
• Budi P. Hatees
• Christian Heru Cahyo Saputro
• Dadang Ruhiyat
• Dahta Gautama
• Dina Oktaviani
• Djuhardi Basri
• Dyah Merta
• Edy Samudra Kertagama
• Elya Harda
• Fitri Yani
• Gunawan Pharikesit
• Hasanuddin Z. Arifin
• Hendra Z.
• Hendri Rosevert
• Iin Mutmainnah
• Imas Sobariah
• Inggit Putria Marga
• Isbedy Stiawan ZS
• Iswadi Pratama
• Ivan Sumantri Bonang
• Iwan Nurdaya-Djafar
• Jimmy Maruli Alfian
• Kuswinarto
• Lupita Lukman
• M. Arman AZ.
• Maulana Suryaning Widy
• Motinggo Busye
• M. Yunus
• Naim Emel Prahana
• Nersalya Renata
• Oyos Saroso HN
• Panji Utama
• Rahmadi Lestari
• Ratno Fadillah
• Rifian A. Chepy
• Rosita Sihombing
• Sugandhi Putra
• Sutarman Sutar
• Sutjipto
• Syaiful Irba Tanpaka
• Tarpin A. Nasri
• Thamrin Effendi
• Ucok Hutasuhut
• Udo Z. Karzi
• Ugoran Prasad
• Y. Wibowo

Referensi
• Agus Sri Danardana Dkk. 2008. Ensiklopedia Sastra Lampung. Bandarlampung: Kantor Bahasa Provinsi Lampung.
• Ahmad Yulden Erwin Dkk (Ed.). 1995. Daun-Daun Jatuh Tunas-Tunas Tumbuh. Bandar Lampung: SKM Teknokra.
• Isbedy Stiawan ZS Dkk (Ed.). 2005. Leksikon Seniman Lampung. Yogyakarta: Logung Pustaka.
Tokoh Tokoh Suku Lampung
Negarawan dan Politisi:
• Pangeran Edward Syah Pernong
• Alamsjah Ratoe Perwiranegara
• Aburizal Bakrie
• Ryamizard Ryacudu
• Alzier Dianis Tabranie
• Bagir Manan
• Tursandi Alwi
Praktisi dan Profesional:
• Henry Yosodiningrat
• Andi Arief
Seniman dan Budayawan:
• Andi Ahmad Sampoerna Jaya
• Hila Hambala
Akademisi dan Tokoh Pendidikan:
• Borisman
• Irfan Anshori
• Hilman Hadikusuma
Wartawan dan Jurnalis:
• Sazeli Rais
• Herman Zuhdi
• Yasir Denhas
• Udo Z. Karzi
Pahlawan Pejuang Kemerdekaan:
• Pangeran Siagul Agul
• Batin Mangunang
• Radin Inten II
Referensi
• Hilman Hadikusuma dkk. 1983. Adat-istiadat Lampung. Bandar Lampung: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Lampung.
• Radin Inten II (Lampung, 1834 - Lampung, 5 Oktober 1858) adalah seorang pahlawan nasional Indonesia. Namanya diabadikan sebagai sebuah Bandara Radin Inten II di Lampung.
• Berdasarkan penelitian, Radin Inten II gelar Kesuma Ratu masih keturunan Fatahillah yang dikenal sebagai Sunan Gunung Jati dari perkawinannya dengan Putri Sinar Alam, seorang putri dari Minak Raja Jalan Ratu dari Keratuan Pugung, cikal-bakal pemegang kekuasaan di keratuan tersebut.
• Radin Inten II adalah putra tunggal Radin Imba II gelar Kesuma Ratu (1828-1834). Radin Imba II sendiri putra sulung Radin Inten I gelar Dalam Kesuma Ratu IV (1751-1828). Dengan demikian, Radin Inten II cucu dari Radin Inten I.
• Radin Inten II berjuang memimpin rakyat di daerah Lampung untuk mempertahankan kedaulatan dan keutuhan wilayahnya. Perjuangannya didukung secara luas oleh rakyat daerah Lampung dan mendapatkan bantuan dari daerah lain seperti dari Banten.
• Kepustakaan
• Oki Laksito dkk. 2003. Sejarah Perjuangan Pahlawan Nasional Radin Inten II. Bandar Lampung: Dinas Pendidikan Lampung.

Belanda Memerlukan waktu 300 Tahun untuk menaklukkan Indonesia

Indonesia Tidak Pernah Dijajah Belanda selama 350 tahun
Bambang Herlandi in: News

Di usia kemerdekaan RI yang ke-65, ada sesuatu yang terkesan dari tulisan yang ada di tribunkaltim.co.id yang kalo kita sama2 membaca dan menelaahnya dengan baik, kita harus merubah pola pikir kita bahwa “Indonesia tidak pernah dijajah Belanda selama 350 tahun, tetapi justru Belanda yang memerlukan waktu 300 tahun untuk menaklukan Indonesia. Dan hasilnya Indonesia bisa memerdekakan dirinya sendiri pada tanggal 17 Agustus 1945.”
“Dirgahayu Kemerdekaan Republik Indonesia ke-65 tahun.”
berikut kutipan tulisannya:
MEDAN, tribunkaltim.co.id –Sejarahwan Universitas Negeri Medan, Ichwan Azhari, mengatakan tidaklah benar bahwa Indonesia pernah dijajah Belanda selama 350 tahun, karena jika angka tersebut dianggap sebagai suatu kebenaran maka awal mula penjajahan di Indonesia adalah tahun 1592.
“Padahal, bangsa Belanda pada tahun 1592 itu belum tiba di Indonesia. Belanda sendiri tiba di Indonesia yakni di Banten pada tahun 1552 di bawah pimpinan Cornelius De Houtman untuk menjajaki potensi perdagangan di Indonesia,” katanya di Medan, Sabtu.
Oleh karena itu, kata dia, yang benar adalah bahwa Belanda memerlukan waktu selama kurang lebih 300 tahun untuk menaklukkan Indonesia.
Hal ini ditandai oleh maraknya penentangan pemerintahan di berbagai daerah untuk menolak intervensi Belanda seperti Raja Tallo, Iskandar Muda, Sultan Agung yang semuanya muncul dari berbagai wilayah di Indonesia.
Ia mengatakan masa penjajahan di Indonesia tidak bisa digeneralisasikan untuk semua kawasan di Indonesia karena setiap daerah memiliki masa waktu berbeda untuk dijajah oleh bangsa asing.
Oleh karenananya, dalam pembelajaran sejarah di sekolah-sekolah, mutlak dilakukan reformasi pembelajaran sejarah.
Sementara itu, staf peneliti Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-Ilmu Sosial Universitas negeri Medan (Unimed) Erond Damanik merujuk pada pendapat GJ. Resink Tahun 1987 dalam bukunya: “Raja dan Kerajaan Yang Merdeka Di Indonesia Tahun 1850-1910″.
Disebutkan bahwa dalam kurun waktu tahun 1850 hingga 1910, masih banyak daerah di Indonesia yang masih merdeka atau belum diduduki oleh Kolonial Belanda.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, masa Indonesia dijajah Belanda tidak benar selama 350 tahun, karena hingga tahun 1907 masih banyak wilayah yang bebas dari pengaruh Belanda.
Misalnya, di Sumatera Utara ada perang Sisingamangaraja, (1887-1907), Kiras Bangun (1901-1905), Rondahaim (1870-1889) maupun Datuk Sunggal masih mengobarkan perang terhadap Belanda, termasuk wilayah Aceh.
“Justru yang benar adalah sebaliknya yakni Belanda membutuhkan waktu sekitar 300 tahun untuk menaklukkan seluruh wilayah di Indonesia. Jadi, mari sama-sama kita luruskan perjalanan bangsa ini, kita tidak pernah dijajah selama 350 tahun tapi justru yang terjadi adalah Belanda memerlukan waktu selama 300 tahun untuk menaklukkan kita,” katanya. (kompas.com)