PENGAMBILAN IJAZAH

Kepada seluruh Siswa kelas XII Tahun Pelajaran 2009/2010 yang sudah melakukan Cap Tiga Jari STTB dan SKHUN, diumumkan bahwa STTB dan SKHUN sudah bisa diambil, silahkan anda hubungi bagian administrasi atau Panitia Ujian Sekolah pada hari dan jam kerja antara jam 08.00 sampai jam 14.00 Wib.

Demikian pemberitahuan ini disampaikan, atas perhatian dan kerja samanya diucapkan terima kasih.




Panitia Ujian TP 2009/2010

Dto
Budi Santoso, S.Pd

SIDIK JARI

Kepada Seluruh siswa kelas XII SMA Negeri 1 Kalianda, sehubungan dengan diadakannya kegiatan lomba baju adat antar kelas dalam rangka memperingati hari Kebangkitan Nasional maka kegiatan sidik jari diundur. yang sedianya kana dilaksanakan pada tanggal 20 Mei 2010. Untuk selanjutnya sidik jari akan dilakasanakan mulai :

Hari / tanggal : Jumat, 21 Mei 2010

Waktu : 08.00 - 11.00 ( menyesuaikan jam kantor )

Demikian pemberitahuan ini disampaikan, atas perhatian dan kerjasamanya diucapkan terima kasih

Ketua Panitia UN
-
Budi Santoso, S.Pd

SAMBUTAN MENDIKNAS

SAMBUTAN
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL
PADA PERINGATAN HARI PENDIDIKAN NASIONAL TAHUN 2010
MINGGU, 2 MEI 2010

ASSALAMU’ALAIKUM WR. WB.

Selamat pagi dan salam sejahtera bagi kita semua.
Alhamdulillah, di pagi hari ini kita dapat berkumpul bersama dalam upacara
Peringatan Hari Pendidikan Nasional (HARDIKNAS) tahun 2010. Tahun dimana awal
kita memasuki dan menjalankan Rencana Strategis Kementerian Pendidikan Nasional
2010-2014, yang bertumpu pada terselenggarannya layanan prima pendidikan
nasional untuk membentuk insan Indonesia cerdas komprehensif, melalui lima misi
meliputi: ketersediaan; keterjangkauan; kualitas atau mutu dan relevansi;
kesetaraan; dan kepastian, dalam memperoleh layanan pendidikan.

HADIRIN PESERTA UPACARA YANG TERHORMAT,
Tanggal 2 Mei merupakan hari yang mempunyai makna bagi seluruh
pemangku kepentingan pendidikan, utamanya para pendidik dan tenaga
kependidikan, serta peserta didik dari jenjang pendidikan dasar sampai dengan
pendidikan tinggi baik jalur pendidikan formal, non formal maupun informal.
HARDIKNAS diperingati antara lain untuk mengenang jasa Bapak Pendidikan
Indonesia Ki Hadjar Dewantara dan seluruh pejuang pendidikan yang patut kita
kenang dan hargai.
Ada tiga makna penting tiap kali kita memperingati hari-hari besar Nasional,
seperti halnya HARDIKNAS hari ini.
Makna pertama, berkait dengan momentum untuk merenungkan dan
merefleksikan diri terhadap perjalanan dan langkah panjang yang telah dilalui. Ini
berkait dengan cita-cita awal lahirnya HARDIKNAS, sebuah cita-cita yang saat itu
dicirikan dengan semangat kepahlawanan, semangat kesediaan diri untuk
memberikan lebih dari kewajibannya, dan untuk menerima kurang dari hak-haknya,
disertai dengan keyakinan bahwa pemberian yang lebih dan penerimaan yang
kurang itu dijadikan sebagai investasi kemasyarakatan, yang insya Allah pada
saatnya akan diperoleh kemanfaatan lebih. Semangat itu dalam konteks kekinian
saat ini, kiranya masih relevan untuk selalu dikumandangkan, terutama dalam
kondisi bangsa seperti saat ini.
Makna kedua, upaya didalam mengintropeksi diri dari apa yang sedang kita
lakukan didalam menjalankan berbagai program pendidikan saat ini untuk menatap
masa depan yang lebih baik, dalam menjamin pelayanan pendidikan secara nondiscriminative
kepada semua anak usia sekolah Indonesia di manapun mereka
tinggal, sehingga sebuah cita-cita luhur saat digagasnya peringatan HARDIKNAS,
bisa terus terjaga.
Makna ketiga, bagaimana kita memprespektifkan apa yang telah dan sedang
dilakukan untuk masa depan yang lebih baik, sebagaimana dicantumkan dalam
konstitusi kita serta diamanatkan pula dalam sistem perundangan, dalam upaya
mencerdaskan bangsa secara utuh.
Pada titik ini, maka HARDIKNAS bukan hanya diperingati untuk kegiatan
seremonial belaka, tapi justru untuk lebih memompa semangat. Peringatan
HARDIKNAS harus terus menerus dikumandangkan dan dilakukan rekontekstualitas
sesuai dengan masanya, karena itulah tidak berlebihan jika momentum HARDIKNAS
kali ini juga harus bisa memberikan makna lebih, tidak hanya sebatas pada
memperingatinya secara seremonial.

HADIRIN YANG BERBAHAGIA,
Saya ingin mengajak agar peringatan HARDIKNAS kali ini, dapat
membangkitkan rasa optimisme, percaya diri dan tentu sambil terus berusaha,
karena melalui modal optimisme, percaya diri dan berusaha itulah, sesungguhnya
cikal bakal bangsa ini dibangun. Itulah pilihan tema HARDIKNAS tahun ini diambil:
“Pendidikan Karakter untuk Membangun Peradaban Bangsa.”
Pemilihan tema ini menjadi tepat dengan perkembangan dan perubahan
aspirasi masyarakat yang sangat dinamis. Tentu bukan hanya itu, tema ini juga
merupakan bagian dari apa yang jauh hari telah ditekankan oleh Bapak Pendidikan
Nasional Ki Hadjar Dewantara, yang hari kelahirannya kita peringati sebagai
HARDIKNAS.
Pendidikan, kata Ki Hadjar Dewantara, merupakan daya upaya untuk
memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran
(intellect), dan tubuh anak. Bagian-bagian itu tidak boleh dipisahkan agar kita dapat
memajukan kesempurnaan hidup anak-anak kita.
HADIRIN PESERTA UPACARA YANG TERHORMAT,
Kesempurnaan hidup anak-anak kita menjadi kata kuncinya, menjadikan
anak-anak kita untuk jujur. Itu sebabnya dalam pelaksanaan Ujian Nasional (UN)
kita kampanyekan UN Jujur dan Berprestasi. Hasilnya? Memang kita harus terus
menyempurnakan.
Kita tidak akan tahu kekurangan-kekurangan jika tidak dilakukan evaluasi
atau ujian dengan standar nasional sebagai alat untuk memetakan kondisi riil atau
sebenarnya. Dari hasil pemetaan inilah selanjutnya akan diambil dan diputuskan
jenis intervensi kebijakan didalam memperbaiki kualitas anak-anak kita, kualitas
dunia pendidikan kita.

HADIRIN YANG BERBAHAGIA,
Dunia pendidikan diharapkan sebagai motor penggerak untuk memfasilitasi
pembangunan karakter, sehingga anggota masyakat mempunyai kesadaran
kehidupan berbangsa dan bernegara yang harmonis dan demokratis dengan tetap
memperhatikan sendi-sendi Negara Kesatuan Indonesia Republik Indonesia (NKRI)
dan norma-norma sosial di masyarakat yang telah menjadi kesepakatan bersama.
Pembangunan karakter dan pendidikan karakter menjadi suatu keharusan,
karena pendidikan tidak hanya menjadikan peserta didik menjadi cerdas juga
mempunyai budi pekerti dan sopan santun, sehingga keberadaannya sebagai
anggota masyarakat menjadi bermakna baik bagi dirinya maupun masyarakat pada
umumnya.
Saya ingin menyampaikan apa yang pernah Bapak Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono sampaikan tentang pentingnya pendidikan karakter. Beliau menyatakan,
bahwa, pembangunan watak (character building) adalah amat penting. kita ingin
membangun manusia Indonesia yang berakhlak, berbudi pekerti, dan berperilaku
baik. Bangsa kita ingin pula memiliki peradaban yang unggul dan mulia. Peradaban
demikian dapat kita capai apabila masyarakat kita juga merupakan masyarakat yang
baik (good society). Dan, masyarakat idaman seperti ini dapat kita wujudkan
manakala manusia-manusia Indonesia adalah manusia yang berakhlak dan berwatak
baik, manusia yang bermoral dan beretika baik, serta manusia yang bertutur dan
berperilaku baik pula.
Itulah sebabnya, kita sungguh menggarisbawahi pentingnya pendidikan dan
pembangunan karakter bangsa dalam arti luas. Bangsa yang berkarakter unggul, di
samping tercermin dari moral, etika dan budi pekerti yang baik, juga ditandai
dengan semangat, tekad dan energi yang kuat, dengan pikiran yang positif dan
sikap yang optimis, serta dengan rasa persaudaraan, persatuan dan kebersamaan
yang tinggi. Inilah, kata Presiden, totalitas dari karakter bangsa yang kuat dan
unggul, yang pada kelanjutannya bisa meningkatkan kemandirian dan daya saing
bangsa, menuju Indonesia yang maju, bermartabat dan sejahtera di Abad 21 ini.

HADIRIN YANG BERBAHAGIA,
Akhirnya kami mengucapkan selamat memperingati Hari Pendidikan Nasional
kepada semua pendidik, tenaga kependidikan, dan peserta didik, serta penggiat
pendidikan di seluruh tanah air. Semoga apa yang kita kerjakan dan perbuat selama
ini di bidang pendidikan menjadi amal kebajikan kita di dunia.

WASSALAMU’ALAIKUM WR. WB.


MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,


MOHAMMAD NUH

REFLEKSI HARI PENDIDIKAN NASIONAL 2010

Raden Mas Soewardi Suryaningrat, atau yang biasa kita kenal dengan Ki Hadjar Dewantara, lahir di Yogyakarta pada 2 Mei 1889. Ia merupakan Bapak Pendidikan Nasional Bangsa Indonesia dan seorang pendiri Nationaal Onderwijs Intituut Tamansiswa (Perguruan Nasional Tamansiswa). Karena buah pemikirannya, bangsa ini memiliki warisan pemikiran dasar pendidikan untuk memajukan bangsa secara keseluruhan tanpa membedakan agama, etnis, suku, budaya, adat, kebiasaan, status sosial, dan sebagainya. Tidak salah, jika tanggal kelahiran Ki Hajar Dewantara ini kita peringati sebagai Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas).

Namun berbagai masalah masih menghantui dunia pendidikan kita di Hardiknas kali ini, mulai dari lembaga persekolahan yang menjadi tumpuan untuk mendidik individu-individu berkualitas dinilai masih tertinggal dalam menjawab tantangan zaman. Kontroversi pemberlakuan ujian nasional yang tiada henti, berbagai tindak kekerasan yang dilakukan guru terhadap muridnya. Sampai sinetron sinetron televisi Indonesia yang dengan baik mendidik para siswa SMA sampai SD tentang hasrat cinta lawan jenis dan menjadikan pelajaran sekolah menjadi pekerjaaan sampingan, selain itulah lahirlah komunitas kosmopolitan dan hedonis macam dance street clubs, dugem club, hippies, anak nongkrong, yang padat oleh aktivitas seni namun jauh dari usaha memperbaiki bangsa. Komunitas yang lahir dengan parameter moralnya sendiri. Generasi yang kebudayaannya dijajah kebudayaan bangsa lain. Generasi yang tercerabut dari akar budayanya. Memposisikan agama dan moral sebagai sesuatu yang teralienasi. Pertarungan kebudayaan yang bukan kitalah pemenangnya. Pendidikan kita pun ternyata bukan lagi menjadi tameng pelindung. Padahal, perubahan global yang pesat menuntut sumber daya manusia cerdas secara intelektual, emosional, spiritual, serta peduli terhadap persoalan lingkungan sekitarnya.

Pendidikan yang sejatinya diyakini sebagai salah satu jalan dan prioritas terpenting untuk memajukan warga negara Indonesia. Akan tetapi, realitas yang ada, tiap kali membicarakan pendidikan di negara yang sudah 63 tahun merdeka ini, ada rasa gamang yang mengganggu optimisme untuk keluar dari belitan masalah sumber daya manusia yang bermutu.

Desakan supaya bangsa ini kembali kepada ”roh” pendidikan seperti yang diwariskan Ki Hadjar Dewantara dalam tri pusat pendidikan, yaitu pendidikan di keluarga, sekolah dan masyarakat, paradigma yang sesuai dengan kepribadian bangsa kita, menempatkan siswa sebagai subjek pendidikan dan telah di copy paste oleh Malaysia dan Singapura. Namun realitanya, pendidikan kita dirasakan belum keluar dari paradigma lama yang menempatkan siswa sebagai obyek pendidikan.

Praktik pendidikan yang dilaksanakan di sekolah malah meninmbulkan banyak ironi. Penekanan pendidikan belumlah membekali siswa menjadi manusia yang berkembang dalam multi-intelegensia. Anak-anak dihargai dari nilai-nilai akademis semata. Sekolah pun akhirnya masih dipandang sebagai lembaga yang membelenggu kebebasan siswa untuk bisa memaksimalkan potensi dan kreativitasnya. Bolehlah pemerintah mengklaim dalam lima tahun terakhir ini, sejak diberlakukannya ujian nasional tahun 2004, terjadi peningkatan mutu yang signifikan. Data statistik yang disodorkan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) memperlihatkan bahwa nilai rata-rata ujian nasional mengalami kenaikan dari rata-rata 5,5 menjadi 7,3.

Persoalan bahwa angka-angka tersebut dicapai dengan cara belajar drilling atau penyiapan siswa secara ”mati-matian” di tingkat akhir setiap jenjang pendidikan tak membuat pusing petinggi negara ini. Pokoknya anak-anak sekolah Indonesia bisa lulus mendekati 100 persen. Tak peduli apakah konsep-konsep dasar dari setiap ilmu pengetahuan yang dipelajari siswa itu sungguh-sungguh dipahami dan mampu diaplikasikan dalam kehidupan.

Polemik bagaimana menjalankan pendidikan yang membebaskan dan memberdayakan tiap warga memang tidak akan berhenti, bahkan di negara maju sekalipun. Namun, pendidikan di Indonesia secara umum dinilai masih belum memberikan optimisme yang cukup kuat untuk penyiapan sumber daya manusia yang mandiri, kreatif, kritis, berkarakter kuat, dan memiliki pengabdian bagi bangsanya.

Bisa dikatakan sistem pendidikan di negeri ini nyaris kehilangan rohnya. Demikian banyak wacana, kritik, dan koreksi dari berbagai kalangan, tetapi belum juga menemukan formulasi yang tepat untuk memberdayakan pendidikan. Kalau toh ada upaya perbaikan, sering tidak produktif pada tataran aplikasi karena ujung-ujungnya sebatas pada pembangunan fisik dan simbol-simbol, bukan pada penguatan substansi.

Kita tidak perlu meratapi kebodohan dan ketertinggalan sumber daya kita ketika dibandingkan dan disandingkan dengan negara lain. Apalagi kemudian dengan emosional kita mencoba mengejar ketertinggalan tersebut dengan semangat bersaing. Kegiatan gugat-menggugat siapa yang paling bersalah dalam membuat kebijakan pendidikan juga sebaiknya segera dihentikan karena tidak akan menemukan ujung pangkalnya. Jauh lebih bermanfaat adalah melakukan sesuatu daripada sekadar berpangku tangan membiarkan keterpurukan pendidikan yang akhirnya juga menjadi keterpurukan generasi Indonesia secara berkesinambungan.

Pendidikan yang seharusnya tidak hanya dimaknai dari nilai-nilai semata, apalagi selembar ijazah. Nyatanya, dengan memaknai pendidikan melampaui dari batas dinding-dinding sekolah, anak-anak jenius seperti Albert Einstein dan Thomas Alfa Edison bisa berhasil mewujudkan apa yang mereka inginkan.

Selama ini dari sekian banyak Peraturan Pemerintah dan perangkat hukum tentang pendidikan nasional, kita masih belum menemukan blue print yang bisa menunjukkan ke mana arah dunia pendidikan kita akan dibawa. Pasalnya, setiap pemerintahan berganti maka kebijakan terhadap pendidikan pun turut berganti. Lihat saja, bagaimana kurikulum yang dulunya dianggap sangat sesuai dengan semangat otonomi yaitu Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), begitu mudahnya ditarik kembali ke sarangnya oleh pemerintah dengan alasan tidak dapat diterapkan. Padahal, tidak sedikit dana yang dikeluarkan untuk melaksanakan ujicoba kurikulum tersebut. Kini, kurikulum baru bernama KTSP yang di terapkan.

Ketidakpuasan pada apa yang ditawarkan sistem pendidikan yang didesain pemerintah hingga saat ini memang relatif. Akan tetapi, dari realitas inilah harusnya lahir upaya-upaya dan kreativitas menciptakan pola-pola pendidikan masa depan yang tidak membuat anak terbebani saat menemukan kata belajar Mesti diakui secara obyektif tidak semua langkah dan kebijakan pemerintah itu buruk sama sekali. Namun, apa yang diputuskan pemerintah terkait pendidikan diyakini belumlah menyentuh pada hal mendasar yang seharusnya diperbaiki dalam sistem pendidikan nasional. dan menurut saya, ada beberapa kebijakan yang harus dilakukan tidak hanya oleh pemerintah tapi juga oleh semua elemen masyarakat untuk mewujudkan bentuk pendidikan masa depan yang inovatif dan adaptif; 

Pertama, susunlah Sistem Pendidikan Nasioanl yang komprehensif dan aplikatif. Dengan sistem yang komprehensif, diharapkan proses dan praktik pendidikan mengalami perbaikan berkelanjutan pada semua aspek dan perangkatnya. Sistem yang aplikatif mampu mendorong proses pendidikan bermutu demi peningkatan daya saing bangsa serta pada saat yang sama bisa mendorong terbentuknya manusia Indonesia seutuhnya. Tidak terjebak pada persoalan-persoalan cabang semata, semisal polemik UN yang berkepanjangan. Sebagai acuan kurikulum bernama KTSP yang menyatakan konsep penilaian seorang siswa berdasarkan pada tiga aspek: Kognitif , afektif, dan psikomotorik. Nah tenyata aplikasinya? Mereka hanya mementingkan aspek kognitif (lewat soal-soal UN) sebagai "penilaian akhir" siswa. Ibarat peribahasa: bak menelan ludah sendiri. Berarti juga sebenarnya mereka melakukan pembodohan dengan memaksa membebani siswa dengan aspek selain aspek kognitif, yang sebenarnya itu tidak akandipertanyakan/diujikan.

Kedua, segera selesaikan program Wajib Belajar 9 Tahun dan meningkatkannya menjadi Wajib Belajar 12 tahun. Implikasi dari kebijakan ini adalah pemerintah wajib menyediakan segala fasilitas demi terpenuhinya kesempatan belajar bagi seluruh rakyat Indonesia. Juga diselenggarakan sistem pendidikan murah, tapi berkualitas semisal sekolah terbuka atau sekolah rakyat, termasuk pendidikan darurat di daerah rawan konflik plus rawan bencana alam.

Ketiga, meningkatkan kesejahteraan dan penghargaan terhadap peran guru sebagai pilar utama pendidikan dan pembangunan bangsa. Hingga tidak ada lagi guru yang mempunyai pekerjaan sampingan di sekolah maupun di luar sekolah. Namun, peningkatan kesejahteraan guru ini tidak hanya meningkatkan besaran gaji saja, melainkan pada saat yang sama meningkatkan mutu pendidikan. Karena itu, sistem penggajian harus dikaitkan dengan peningkatan kinerjanya.

Keempat, melaksanakan amanat pasal 31 ayat (4) Perubahan UUD 1945 tentang alokasi anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD secara efektif dan efisien yang disertai peningkatan pengawasan penggunaan anggaran pendidikan, agar tidak mengalami penyelewengan anggaran. Isu yang terakhir didapat adalah rencana pemerintah untuk menurunkan anggaran pendidikan dalam RAPBN 2010. Anggaran pendidikan  yang justru seharusnya dinaikkan karena banyak persoalan pendidikan yang mesti dibenahi. Anggaran pendidikan tahun 2010 ditargetkan senilai Rp 195,63 triliun atau berkurang Rp 11,7 triliun dibandingkan tahun 2009 sebesar Rp 207,41 triliun. Dengan anggaran Rp 195,63 triliun, anggaran pendidikan 2010 setara dengan 20,6 persen dari total RAPBN 2010. Anggaran pendidikan tahun 2009 sebesar 21 persen dari APBN. Penurunan ini karena anggaran 2010 difokuskan untuk pemulihan perekonomian nasional dan pemeliharaan kesejahteraan rakyat. Nah, kalau sudah begini kita perlu tanyakan kem bali komitmen pemerintah untuk memajukan dunia pendidikan Indonesia.

Kelima, mengefektifkan proses pendidikan yang menanamkan jiwa kebebasan dan kemandirian melalui peningkatan keterampilan hidup (life skills). Kurikulum diarahkan kepada pengembangan pengalaman belajar yang seimbang dari aspek intelektual (IQ), emosional (EQ), dan spiritual (SQ), sehingga peserta didik memiliki kecakapan hidup yang relevan dengan kebutuhan mempertahankan dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat secara keseluruhan.  Kerinduan untuk bisa menghadirkan belajar yang menyenangkan buat anak dan mengembangkan potensi unik setiap anak mendorong semakin tumbuhnya sekolah rumah atau homeschooling serta pendidikan alternatif lainnya. Belajar dipahami tidak mesti di sekolah, tetapi di mana saja, kapan saja, dan bersama siapa saja, dengan meletakkan tanggung jawab utama pelaksanaannya oleh keluarga. Kegelisahan dan keresahan pada sistem pendidikan nasional yang andal untuk melahirkan sumber daya manusia berbobot bagi mereka yang peduli pada masa depan bangsa ini memang bisa membuat frustrasi. Namun, di tengah situasi tersebut, bertindak nyata yang bisa menginspirasi perbaikan pendidikan saat ini sangat dibutuhkan anak-anak kita.

Keenam, melakukan perbaikan mendasar dalam penyelenggaraan pendidikan menuju menajemen pendidikan yang lebih adil antara desa dan kota untuk mengembangkan kemampuan dan potensi daerah. Dengan ini diharapkan terjadi peningkatan partsisipasi masyarakat luas yang pada gilirannya akan memunculkan tanggung jawab terhadap hasil dan dampak pendidikan di Indonesia yang lebih bermakna secara merata dari pusat hingga pelosok daerah. 

Kalau kita mau melihat kembali ke belakang, saking besarnya komitmen pemerintah Jepang terhadap dunia pendidikan di negaranya, setelah mengalami kekalahan pada Perang Dunia II, yang pertama kali dibangkitkan pemerintahan Jepang adalah sektor pendidikan. Bahkan, hal yang ditanyakan kaisar Jepang pasca-PD II itu adalah berapa banyak jumlah guru yang tersisa. Bukan, berapa banyak tank atau persenjataan lainnya yang tersisa.

Bisakah kita memiliki komitmen dan tekad yang bulat untuk membawa dunia pendidikan kita lebih maju? Setidaknya, untuk memperoleh komitmen dan tekad guna memajukan dunia pendidikan bangsa ini, kita harus mau dan berani untuk belajar dari negara mana pun yang lebih maju.

Kurangnya komitmen kita dalam mengelola pendidikan 15 - 20 tahun silam, berdampak buruk pada kinerja pendidikan kita saat ini. Jika saat ini kita masih tidak sungguh-sungguh mengelola pendidikan, bangsa ini akan merasakan akibatnya pada 15 - 20 tahun ke depan. Itu sebabnya, kita harus berani membenahi pendidikan nasional kita sekarang juga. Untuk bisa melakukan perubahan, pemerintah bersama-sama seluruh elemen masyarakat harus mampu berkomitmen dengan serius dan benar-benar untuk bisa membawa pendidikan kita bisa lebih maju, serta membuang rasa komitmen setengah hati seperti yang terjadi saat ini. Semoga peringatan Hardiknas bukan hanya ritual tahunan semata tetapi jadikanlah Hardiknas momentum untuk memperbaharui potret buram pendidikan kita. Dimana ada kemauan, disitu ada jalan. 


Referensi : Joko Ariyanto

SIDIK JARI SKHUN SEMENTARA

Kepada
Seluruh siswa kelas XII tahun pelajaran 2009/2010, diharapkan kehadirannya pada Hari       : Senin
Tanggal : 03 Mei 2010
Tempat  : SMAN 1 Kalianda
Keperluan : Sidik jari SKHUN Sementara

Demikian pemberitahuan ini disampaikan atas perhatian dan kerjasamanya diucapkan terima kasih



Panitia UN 2009/2010